Historiografi
adalah kajian mengenai metode sejarawan dalam pengembangan sejarah sebagai
disiplin akademis, dan secara luas merupakan setiap karya sejarah mengenai
topik tertentu. Historiografi tentang topik khusus melingkupi tentang bagaimana
sejarawan mengkaji topik tersebut dengan menggunakan sumber, teknik, dan
pendekatan teoretis tertentu. Para sarjana telah mendiskusikan historiografi
dengan topik – seperti "historiografi
Indonesia", "Historiografi Islam awal", "Historiografi
Tiongkok" – serta berbagai pendekatan dan aliran, seperti sejarah politik
dan sejarah sosial. Sejak abad ke-19, dengan bangkitnya sejarah akademis, mulai
berkembang bentuk literatur historiografi. Sejauh mana sejarawan dipengaruhi
oleh kelompok dan loyalitas mereka sendiri – seperti kepada negara bangsanya -
menjadi permasalahan yang diperdebatkan.
Ketertarikan
penelitian sejarawan berubah sepanjang waktu, dan telah ada pergeseran jauh
dari diplomasi, ekonomi, dan politik tradisional menuju pendekatan yang lebih
baru, khususnya sosial dan sejarah budaya. Sejak 1975 sampai 1995, proporsi
profesor sejarah di universitas Amerika yang diidentifikasi dengan sejarah
sosial naik dari 31 ke 41 persen, sedangkan proporsi sejarawan politik menurun
dari 40 ke 30 persen.[2] Pada 2007, dari 5.723 fakultas di departemen sejarah
di universitas Britania, 1.644 (29%) mengidentifikasi dirinya dengan sejarah
sosial dan 1.425 (25%) mengidentifikasi dirinya dengan sejarah politik.
Salah satu
contoh historiografi adalah babad majapahit.
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah
berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak
kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350
hingga 1389. Majapahit menguasai kerajaan-kerajaan lainnya di semenanjung
Malaya, Borneo, Sumatra, Bali, dan Filipina.
A.
Kejayaan
Majapahit
Terakota wajah
yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam Wuruk,
juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389.
Pada masanya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan
mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit
menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah
kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,
menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Majapahit
lainnya adalah Adityawarman, yang terkenal karena penaklukannya di Minangkabau.
Menurut Kakawin
Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra,
semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua,
dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi
menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di
bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh
perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki
hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan
bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
B.
Jatuhnya
Majapahit
Sesudah
mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur
melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun
1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah
terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan
pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi
Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus
dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini
adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya
digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja
ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana
Ketika
Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai
memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh
Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah
kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan
Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara
Catatan sejarah
dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan
bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu
ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan
1521 M
Berikut adalah
daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara
pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin
diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit
menjadi dua kelompok.
klik2
klik2
C.
Raja
Majapahit
1.
Raden Wijaya
Raden Wijaya (lahir: ? – wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri
Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama yang memerintah pada tahun 1293-1309,
bergelar Sri Maharaja Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Raden
Wijaya nerupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri
Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar
akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya secara lengkap, yaitu Raden
Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya
(abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden belum populer.
Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut
pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar dyahmerupakan gelar kebangsawanan
yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar Raden. Istilah Raden
sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya
Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang
dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan
gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.
Mendirikan Desa Majapahit
Menurut prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan
Jayakatwang bupati Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden
Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelang-Gelang yang menyerang
dari arah utara Singhasari. Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun
pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil
menewaskan Kertanagara.
Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke
Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia
memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil
menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja penguasa Songeneb (nama
lama Sumenep).
Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk
merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia
berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua
untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja
menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah.
Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan
Kadiri menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput
Wijaya di pelabuhan Jungbiru.
Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur
Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin
bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga.
Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan
tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah
maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya
tersebut pun diberi nama Majapahit.
Menjadi Raja Majapahit
Catatan Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293 pasukan Mongol
sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa untuk menghukum
Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang
dikirim Kubilai Khan raja Mongol.
Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk
menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu bahwa
dirinya adalah ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya meminta bantuan
untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah
itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.
Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera
mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru
berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan
Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri.
Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam kapal Mongol.
Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali
ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa
curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang
mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha di mana pasukan
Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese
kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan
Jawa.
Wijaya kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut
Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika
tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.
Masa Pemerintahan
Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang
dulu setia dalam perjuangan. Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu Sora
sebagai patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan. Pada
tahun 1294 Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu yang
dulu melindunginya saat pelarian menuju Pulau Madura.
Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut
Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi
sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit.
Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya
mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal
setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di
Lamajang (nama lama Lumajang).
Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman
Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun,
ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora merasa tidak
tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh
Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua
kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di
halaman istana.
Akhir Hayat
Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun
1309. Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara,
atau perpaduan Wisnu dan Siwa. Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja
selanjutnya.
2.
Jayanagara
Jayanagara (lahir: 1294 – wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan
Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri Maharaja
Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan Jayanagara
terkenal sebagai masa pergolakan dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Ia
sendiri meninggal akibat dibunuh oleh tabib istananya.
Asal-Usul
Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet
putra Raden Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan Dharmasraya
di Pulau Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh hari setelah
pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit. Raden Wijaya yang sebelumnya
telah memiliki dua orang istri putri Kertanagara, kemudian menjadikan Dara
Petak sebagai Stri Tinuheng Pura, atau “istri yang dituakan di istana”.
Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya
Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari
dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal
24 April 1293. Naskah Nagarakretagama juga menyebut angka tahun 1293. Sehingga,
jika berita-berita di atas dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara
Petak dapat diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran
Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.
Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam Nagarakretagama dan
prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya
bukan hanya menikahi dua, tetapi empat orang putri Kertanagara, yaitu
Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan
Jayanagara dilahirkan dari istri yang bernama Indreswari. Hal ini menimbulkan
dugaan kalau Indreswari adalah nama lain Dara
Naik Takhta
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja
atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul
dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden
Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan
masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja
pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti
Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa Jayanagara adalah
nama asli sejak kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka.
Sementara nama Kalagemet yang diperkenalkan Pararaton jelas bernada ejekan,
karena nama tersebut bermakna “jahat” dan “lemah”.
Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya
yang menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Kematian Jayanagara
Pararaton mengisahkan Jayanagara dilanda rasa takut kehilangan
takhtanya. Ia pun melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat
menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan muncul desas-desus
kalau kedua putri yang lahir dari Gayatri itu hendak dinikahi oleh Jayanagara
sendiri.
Desas-desus itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat
itu sudah menjadi abdi kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan
tentang istrinya yang diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak
peduli pada laporan tersebut.
Ra Tanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk
mengobati sakit bisul Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh
Jayanagara di atas tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan
segera menghukum mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1328. Menurut Pararaton Jayanagara
didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan.
Sedangkan menurut Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca
Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu
serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amogasidi.
Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh karena
itu takhta Majapahit kemudian jatuh kepada adiknya, yaitu Dyah Gitarja yang
bergelar Tribhuwana Tunggadewi.
klik3
klik3
3.
Tribhuwana Wijayatunggadewi
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang
memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar
abhisekanya ialah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Pemerintahan Tribhuwana
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah
ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328.
Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir
pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta
mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi
mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya
sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan.
Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya
pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya,
Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan
Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar
dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun
berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya,
Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa
yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun
1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah)
sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah
Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343
Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian
seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk
menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian
menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan
Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya
hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah
tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat
karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi
raja Majapahit.
Akhir Hayat Tribhuwana
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351
(sesudah mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre
Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan
agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja Majapahit
selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana.
Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah
pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.
Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi
Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu
Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa
Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.
4.
Hayam Wuruk
Dyah Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang
memerintah tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah
pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya.
Silsilah Hayam Wuruk
Nama Hayam Wuruk artinya “ayam yang terpelajar”. Ia adalah putra
pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara. Ibunya
adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja
bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel.
Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali
dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu
pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre
Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri
Rajadewi, adik ibunya.
Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri
Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang
menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki
putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan
Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan
Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga
menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).
Peristiwa Bubat
Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja sunda (di Jawa
Barat), Diah Pitaloka Citrasemi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit
untuk mencaplok Pajajaran. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan,
Gajah Mada mendesak Pajajaran untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk
kepada Majapahit. Pajajaran menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat.
Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam
beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.
“Kecelakaan sejarah” ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh
masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada
bagi pemberian nama jalan.
Suksesor
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani
(yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari
selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya,
Wikramawardhana.
klik4
5.
Wikramawardhana
Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit yang memerintah
berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu Kusumawardhani putri Hayam
Wuruk, pada tahun 1389-1427.
Silsilah Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Wikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji
Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja,
adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama
Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana.
Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang
lahir dari Padukasori. Dalam Nagarakretagama(ditulis 1365), Kusumawardhani dan
Wikramawardhana diberitakan sudah menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru
berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah
dijodohkan sejak kecil.
Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma
bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja.
Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang
anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya.Bhre Tumapel lahir
dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai
putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja.Kedudukan
sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha
putri Bhre Wirabhumi.
Awal Pemerintahan Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Saat Nagarakretagama ditulis tahun 1365, Kusumawardhani masih
menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan. Sedangkan Wikramawardhana
menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata.
Menurut Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389,
Kusumawardhani dan Wikramawardhana naik takhta dan memerintah berdampingan.
Jabatan Bhre Mataram lalu dipegang oleh selir Wikramawardhana, yaitu putri Bhre
Pandansalas alias Ranamanggala. Ibu Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana
sendiri yang bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana
menikahi keponakannya sendiri sebagai selir.
Raja sakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre
Kabalan menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam
Pararaton. Pada tahun 1398 Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih
menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia. Berita dalam Pararaton ini
harus ditafsirkan sebagai “mengusulkan”, bukan “melantik”. Akhir Pemerintahan
Wikramawardhana
Perang Paregreg membawa kerugian besar bagi Majapahit. Banyak
daerah-daerah bawahan di luar Jawa melepaskan diri ketika istana barat dan
timur sibuk berperang.
Wikramawardhana juga berhutang ganti rugi pada kaisar Dinasti Ming
penguasa Cina. Ketika terjadi penyerbuan ke timur, sebanyak 170 orang anak buah
Laksamana Ceng Ho ikut terbunuh. Padahal waktu itu Ceng Ho sedang menjadi duta
besar mengunjungi Jawa.
Menurut kronik Cina tulisan Ma Huan (sekretaris Ceng Ho),
Wikramawardhana diwajibkan membayar denda pada kaisar sebesar 60.000 tahil.
Sampai tahun 1408 baru bisa diangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, kaisar
membebaskan hutang tersebut karena kasihan.
Pada tahun 1426 terjadi bencana kelaparan melanda Majapahit. Bhre
Tumapel sang putra mahkota meninggal dunia tahun 1427. Candi makamnya di
Lokerep bernama Asmarasaba. Disusul kemudian kematian istri dan putra Bhre
Tumapel, yaitu Bhre Lasem dan Bhre Wengker.
Wikramawardhana akhirnya meninggal pula akhir tahun 1427. Ia
dicandikan di Wisesapura yang terletak di Bayalangu.Rajasakusuma meninggal
tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra
mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan Bhre Mataram.
Pada tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai
pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit.
Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa prasasti Katiden (1395),
yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan
suci.
6.
Suhita
Prabu Stri Suhita adalah raja wanita Majapahit yang memerintah
tahun 1427-1447, bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara
Ratnapangkaja.
Pemerintahan Suhita
Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar
Bhatara Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre Wirabhumi
dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari berita ini
terasa masuk akal kalau hubungan Bhre Wirabhumi dan Suhita adalah kakek dan
cucu, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton.
Nama Suhita juga muncul dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong
sebagai Su-king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai
pemimpin masyarakat Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini
identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan suami
istri itu dicandikan bersama di Singhajaya.
Karena tidak memiliki putra mahkota, Suhita digantikan adiknya,
yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.
7.
Kertawijaya
Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun
1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Menurut
Pararaton, Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana dari selir. Putra
Wikramawardhana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan
Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel, yaitu
menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.
Kertawijaya naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa
pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa
pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra
Bhre Tumapel.
Kertawijaya wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura.
Kedudukannya sebagai raja digantikan Rajasawardhana
Hubungan antara Rajasawardhana dengan Kertawijaya tidak disebut
secara tegas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau
Rajasawardhana naik takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain
mengatakan Rajasawardhana adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat
dalam prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah Wijayakumara.
8.
Brawijaya
Prabu Brawijaya (lahir: ? – wafat: 1478) atau kadang disebut
Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad
dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai
tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre
Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun
pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah
Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa
Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
klik5
Kisah hidup
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia
naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian
memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnyayang
bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan
oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga anak tiri Arya Damar
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang
muslim dari Campa. Patihnya bernama Gajah Mada. Jumlah selirnya banyak sekali.
Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati
Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja
Kesultanan Mataram.
Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah
Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah
nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak
Jingga bupati Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan
serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang
sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan
hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat
ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
• Jaka Sesuruh bergelar
Prabu Bratana
• Prabu Brakumara
• Prabu Brawijaya I
• Ratu Ayu Kencanawungu
• Prabu Brawijaya II
• Prabu Brawijaya III
• Prabu Brawijaya IV
• dan terakhir, Prabu
Brawijaya V
Baik itu pemerintahan Brawijaya ataupun Brawijaya V sama-sama
dikisahkan berakhir akibat serangan putranya sendiri yang bernama Raden Patah
pada tahun 1478. Raden Patah kemudian menjadi raja pertama Kesultanan Demak,
bergelar Panembahan Jimbun
Asal usul nama
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah
dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan
Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah
babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah
singkatan dari bhatara, yang bermakna “baginda”. Sedangkan gelar bhre yang
banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna
“baginda di”. Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun
1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota
kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena
yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk
Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara. Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan
identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di
mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat
pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha
adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh
akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan
pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau
tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha
yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam
ingatan masyarakat Jawasebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya
kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik
dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun “ditempatkan” sebagai
raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan
masyarakat Jawa berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun
dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui
masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis
naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan
Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.
Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang
berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan
naskah tersebut tertulis:
Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada
tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana
anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan
yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana
tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu. Tidak jelas
siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas
ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana
pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang
meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan
ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut
nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini
diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah
raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang
KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya
pun dianggap identik dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya
ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan
Bhre Kertabhumi relatif singkat.
Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
klik6
Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di
Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya
Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah
satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra
Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang
Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun
dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara.
Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti
Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya
sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah
anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi,
Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.
Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre
Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir
berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad
dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi,
Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian
diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun
1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun
mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati
baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana
alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina
tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus
bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre
Kertabhumi menurut kronik Cina.
D.
Teori
keruntuhan Majapahit
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan,
Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam
berbagai versi, antara lain:
•
Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia
dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk
Islam melalui Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan
diri ke Pulau Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan
serat ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer
dalam masyarakat Jawa.
•
Raja terakhir adalah Bhre
Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden Patah. Setelah itu Majapahit menjadi
bawahan Kesultanan Demak. Teori ini muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina
dari Kuil Sam Po Kong Semarang.
•
Raja terakhir adalah Bhre
Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara
Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan
pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
•
Raja terakhir adalah Bhre
Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul
karena Pararatontidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan
raja terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan
ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi)
adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut
Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478,
anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori
ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya
pada tahun 1478.
Pemakaian nama Brawijaya
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan
khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di
daerah Jawa Timur.
Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan
Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu
perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga
terdapat Stadion Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota yang sama. Di samping
itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah
Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
- Get link
- X
- Other Apps
Labels
ips sejarah
Labels:
ips sejarah
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
punya komentar? tuangkan di sini