Syariat Islam bersumber dari nash-nash berbahasa arab yang
berbentuk Al Qur’an dan Al Hadits. Dalam setiap lafadz Al Qur’an dan Al Hadits
mempunyai makna musytarak, muradif ataupun mafhum. Makna musytarak, muradif
ataupun mafhum mempunyai kegunaan untuk membatasi objek hukum.
klik2
Hal itu dikarenakan Islam memiliki syariat atau hukum yang mengatur
segala sendi-sendi kehidupan manusia, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun
dalam masalah hubungan dengan tuhan.
Memahami musytarak, ‘muradif ataupun mafhum sangatlah penting
supaya pemahaman manusia tentang makna dari nash-nash itu sesuai dengan maksud
yang dituju oleh Allah dalam nash tersebut. Karena jika suatu lafadz tidak
diketahui musytarak, muradif ataupun mafhum -nya maka lafadz itu belum jelas
maksudnya karena maknanya tidak terbatas.
A. MUSYARAK
1.
PENGERTIAN MUSYARAK
Musytarak yaitu lafal yang dibentuk
dengan memiliki makna yang bermacam-macam, seperti lafal as sanah diartikan
Hijriyah dan Miladiyah (Masehi), lafal al yad diartikan dengan tangan kanan dan
kiri.
Lafal yang Musytarak adalah lafal yang
dibuat untuk dua makna atau lebih dengan pembuatan yang bermacam-macam yang
dapat menunjukan kepada maknanya secara bergantian, artinya dapat menunjukan
arti ini atau itu. Seperti lafal al ‘ain yang secara bahasa dapat berarti mata
untuk melihat, mata air, dan mata-mata, lafal al qur-u yang secara bahasa
dibuat untuk makna suci dan haid, lafal as sanah yang berarti tahun Hijriyah
dan Miladiyah (masehi), lafal al yad yang artinya tangan kiri dan kanan.
Adapun definisi yang diketengahkan oleh
para ulama’ ushul adalah antara lain:
“Satu lafadh (kata) yang menunjukkan
lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang
ahli dalam bahasa tersebut ”.
klik2
2.
KAIDAH MUSYTARAK
“Penggunaan musytarak menurut makna yang
dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa
berarti meletakkan kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan).
Lihat misalnya, QS Al Hajj (22) : 26,
“Dan ingatlah ketika kami tempatkan
Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau
mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumahKu bagi orang-orang yang
tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orangorang yang rukuk dan sujud’.”
3.
SEBAB-SEBAB
TERJADINYA LAFADH MUSYARAK
Salah satu sebab yang paling penting dari
lafal musytarak adalah karena adanya perbedaan suku dan kabilah dalam
menggunakan satu lafal untuk makna yang berbeda-beda. Oleh sebab itu para ahli
bahasa menetapkan lafal dengan cara memberi makna hakiki (makna dasar) dan
majazi (makna kiasan).
Di dalam nash syara’ terdapat beberapa lafal musytarak. Apabila lafal
musytarak itu terjadi antara arti secara bahasa dan istilah syara’, maka yang
harus digunakan adalah makna syara’. Dan jika musytarak itu terjadi antara dua
makna bahasa atau lebih, maka yang harus digunakan adalah makna salah satunya
dengan ijtihad dan mencari suatu petunjuk yang dapat menentukanya, tidak boleh
menggunakan kedua atau semua makna musytarak tersebut secara bersamaaan.
4.
BENTUK-BENTUK
LAFALDH MUSYARAK
•
Berupa kalimat isim (kata benda)
•
Berupa kalimat fi’il (kata kerja)
•
Berupa kalimat huruf (kata sambung)
klik3
5.
CONTOH LAFADH
MUSYTARAK
Contoh lafadh musytarak yang sering kita
jumpai dalam surah al-Baqarah : 288 adalah sebagai berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
Lafadh quru’ dalam ayat tersebut, dalam
bahasa Arab bias berarti suci dan bias pula berarti masa haidh.Oleh karena itu,
seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui arti
yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam
mengartikan lafadhquru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i
mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya
indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut
kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci).
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini,
beliau beralasan bahwa lafadh tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara
dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan
dan tambahan.
6.
KETENTUAN LAFADH
MUSYARAK
a. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan
terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang
ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan
terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan
dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut.
Baik berupa qarinah lafdziyah (suatu kata yang menyertai nash) maupun qarinah
haliyah (keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash
tersebut).
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan
salah satu arti lafadh lafadh tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus
dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya.
Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu
artinya.
7.
DALALAH LAFADH
MUSYTARAK
Dalam pnggunaan lafadh musytarak, jumhur
ulama’ dari golongan Syafi’iyah, Abu Bakar dan Abu ‘Ali al-Jaba’I
memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki, atau
berbagai makna.Kaidahnya :
استعمال المشترك فى معنييه او معا نيه يجوز
“Menggunakan (lafadh) musytarak menurut
dua atau beberapa arti itu diperbolehkan.”
Alas an mereka berdasarkan pada surah
al-Hajj : 18 sebagaimana berikut :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ
وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ
وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ
الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ
يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa
kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan,
bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian
besar daripada manusia?dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab
atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang
memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”
Lafadh yasjudu bisa diartikan menempelkan
dahi ke bumi, bias diartikan tunduk. Dan seperti pada surah al-Ahzab : 56
sebagaimana berikut :
إن الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه
وسلموا تسليما
“Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Arti lafadh yushalluuna bila datang dari
Allah berarti memberikan rahmat, bila dating dari malaikat berarti memintakan
ampunan (istighfar) dan bila dari manusia biasa berarti do’a
Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu
Hasyim, Abu Hasan al-Bashri dan ulama’ lainnya berpendapat sebaliknya.Yakni
pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa maknanya itu tidak
diperbolehkan.
klik4
B. MURADIF
1.
PENGERTIAN
Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya
mempunyai satu makna Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif
pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’.
Kaidah para Jumhur ulama sebagai beriku:
ايقاع كل من المرادفين مكان الاخر يجوز اذا لم يقم عليه طالع شرعي
Artinya: Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat
yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’.
Al-Qu’ran semenjak di turunkanNya hingga
datangnya hari Akhir senantiasa terjaga sebagaimana pertama diturunkan-nya,
tidak pernah ada ralat, tidak perlu dikritisi, tidak memerlukan edisi revisi,
ataupun pengurangan kosakata, begitu sangat sempurna, Dia-lah Allah yang akan
menjaga keutuhannya sepanjang masa, yang telah menurunkan-nya juga kepada
Nabinya Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam melalui delegasi terpercanya
Malaikat Jibril Alaihi-Salam. Maka karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya.
Namun dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat dan
menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kaliamat
“Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau
“Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal
dengannya, misalnya kalimat ”Allahul A’djom”,
“Allahul Ajal” dan sebagainya.
2.
HUKUM MURADIF
Menurut jumhur ulama meletakkan lafal
muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari
syara’. Pendapat lain mengatakan bahwa diperbolehkan asal masih satu bahasa.
Tentang lafal Qur’an tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwa kita harus membaca
lafal-lafal itu sendiri.
3.
CONOTH MURADIF
Dalam al-Qur’an seorang pembaca akan
sering menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti berikut :
a.
Al-khauf dan khasyah
artinya (Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah
menjadi rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat
makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“dan orangg-orang yang menghuungkan
apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada
Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”
Dalam ayat ini memberitahukan bahwa
sesungguhnya al-khasyhah dikhususkan hanya untuk Allah SWT.sebab lafadh
al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-khouf berfaedah
melemahkan atau dha’if.
b.
Asy-syukh dan al-bukhl
artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl dengan kata
adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun
al-bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut :
وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ
“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang
bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”
Di sini tidak disebutkan dengan lafadh
al-bukhl. Di lain waktu juka dikatakan ad-dhanin bi ilmihi.
c.
Hasad dan al-hiqdu
(dengki). Seperti pada contoh berikut :
سَيَقُولُ الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ
لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا كَلَامَ
اللَّهِ قُلْ لَنْ تَتَّبِعُونَا كَذَلِكُمْ قَالَ اللَّهُ مِنْ قَبْلُ
فَسَيَقُولُونَ بَلْ تَحْسُدُونَنَا بَلْ كَانُوا لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا قَلِيلًا
“Orang-orang badwi yang tertinggal itu
akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan:
“biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak merubah janji Allah.
Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian Allah telah
menetapkan sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada kami.
Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”
d.
As-sabil dan
at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :
وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ
الْمُجْرِمِينَ
“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat
al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula)
jalan orang-orang yang berdosa.”
klik5
C. MAFHUM
1.
PENGERTIAN MAFHUM
mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan
oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat). Jadi mafhum ialah
pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan,
tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut.
2.
PEMBAGIAN MAFHUM
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang
timbulkan sama dengan hukum yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh
hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S.
Al-Isra’ ayat 23).
b. Yang mana hukum haram “memukul” merupakan
mafhum dari dalil haramnya “membentak”.
Mafhum Muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:
a.
Fahwal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan lebih
utama (berat) daripada yang diucapkan. Seperti “memukul” orang tua haram
hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari haramnya “membentak” orang tua.
Bahkan “memukul” dapat dikatakan lebih tidak diharamkan karena tidak hanya
dapat menimbulkan sakit hati, namun lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka
fisik.
b.
Lahnal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama
derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti contoh “membakar” harta anak
yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum dari memakan harta anak yatim
dengan dhalim, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا
يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا[النساء: 10]
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (Q.S.
An-Nisa: 10)
Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa
memakan harta anak yatim dengan dzalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul
hukum haram “membakar” harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara
“memakan” yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan “membakar” yang
dihasilkan dari kefahaman, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.
Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian hukum
yang dipahami berbeda daripada ucapan (mantuq), baik dalam istbat (menetapkan)
maupun nafi (mentiadakan). Seperti firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ.
(الجمعة:9)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli”. (Al-Jum’ah: 9)
Ayat di atas secara tekstual (mantuq)
menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat
jum’at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum
dikumandangkan shalat jum’at atau sesudah dilakukanya shalat jum’ah
diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah.
Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum.
klik6
Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah
Karena mafhum mukhalafah adalah proses
hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq, maka diperlukan beberapa syarat
agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih. Untuk syahnya mafhum mukhalafah
diperlukan empat syarat:
1.
Mafhum Mukhalafah
harus tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun
mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق [الإسراء :31]
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena
takut kemiskin¬an”. (Q.S. Isra’ ayat 31).
Ayat tersebut di atas secara tekstual
menerangkan haramnya membunuh anak karena “takut muskin”. Mafhum mukhalafah-nya
berarti “membunuh anak tidak karena takut miskin”. Dalam hal ini mengambil
hukum dari mafhum mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan
dalil mantuq yang lain yaitu; وَلَا تَقْتُلُوا
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ. [الإسراء :33]
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan
kebenaran”.(QS. Isra’:33)”
Berdasarkan dalil mantuq di atas, baik
takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin (mafhum) tetap tidak boleh
dijadikan alasan membunuh anak.
Contoh mafhum mukhalafah yang berlawanan
dengan mafhum muwafaqah:
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ. (الإسراء:23)
“Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Berdasarkan ayat di atas secara mantuq
disebutkan tidak boleh berkata-kata kasar terhadap orang tua. Apa bila difahami
dengan mafhum mukhalafah berarti selain berkata-kata kasar seperti memukul
diperbolehkan. Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah)seperti ini tidak
dibenarkan karena bertentangan mafhum muwafaqahnya, yaitu “tidak boleh
memukul”.
2.
Yang disebutkan
(manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh; وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ
اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ. (النساء. 23)
“Dan anak-anak (tiri) istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri”. (QS. An-Nisa’:23)
Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan
bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti
dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa “anak tiri yang tidak
dipelihara bersama boleh dinikahi”. Pemahaman berbeda seperti ini tidak
diperbolehkan sebab Allah mengatakan “yang kamu pelihara” hanya berlaku pada
umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3.
Lafadz yang
disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
Seperti contoh;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البحارى)
“Seorang muslim ialah orang yang mana
muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari)
Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak
diperbolehkan menyakiti “muslim” lainnya baik dengan lisan maupun tanganya.
Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman
berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu “diperbolehkan mengganggu orang bukan
muslim”. Sebab perkataan “muslimun” hanya sebagai penguat bahwa sesama orang
muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.
4.
Dalil yang di
sebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh
firman Allah dalam Al-Baqarah;187:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu)
padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
Comments
Post a Comment
punya komentar? tuangkan di sini