Al-Quran merupakan sumber hukum bagi umat Islam sekaligus mu’jizat
bagi Nabi Muhammad Saw yang diberikan oleh Allah Swt. Al-Quran berisi berbagai
informasi keilmuan dan mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia Selain itu
keotentikan isinya juga tidak bisa diragukan lagi. Semua yang terkandung di
setiap ayat-ayatnya mengandung kebenaran dan tidak ada kesalahan sedikit pun.
Keindahan bahasanya sudah tidak dipungkiri lagi, mengungguli
ahli-ahli bahasa mana pun di dunia. Bahasa Al Quran merupakan bahasa yang
mengandung nilai kesusteraan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, diperlukan
kaidah-kaidah tertentu untuk memahami isi yang terkandung di dalamnya. Diantara
kaidah-kaidah tersebut adalah memahami ayat-ayat yang terdapat pertanyaan dan
jawaban.
Apabila kita perhatikan, banyak sekali di dalam Al quran ayat yang
pasti maknanya, tetapi tidak sedikit juga ayat-ayat Al-Quran yang membutuhkan
penjelasan dan penafsiran dalam memaknai ayat-ayat tersebut, oleh karena itu
penulis mencoba untuk menjelaskan sedikit tentang : Mantuq, Mahfum, dan Nash dalam
Al-Qur’an.
A. MANTUQ
1.
PENGERTIAN MANTUQ
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna
tersurat).
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang
ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah
sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di
tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu
lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan
tersebut. Seperti firman Allah SWT dalam Al-Isra’ 23, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Q.S Al-Isra’ ayat 23).
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum,
pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan
kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu.
klik2
2.
PEMBAGIAN MANTUQ
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi
dua bagian yaitu:
1)
Nash, yaitu suatu perkataan
yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT, “Maka
wajib berpuasa tiga hari” (Q.S Al-Baqarah ayat 106)
2)
Zahir, yatiu suatu
perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan
menghendakinya kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT “Dan tetap kekal
Dzat Tuhanmu” (Q.S Ar-Rahman ayat 27)
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan
zat, karena mustahil bagi tuhan mempunyai wajah seperti manusia.
”dan langit yang kami bangun dengan
tangan” (Q.S. Adz-zariyat: 47)
Kalimat tangan ini diartikan dengan
kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai tangan seperti manusia.
3)
Mu’awwal adalah lafazh yang
diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi
dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir
diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya
kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada
dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna
ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat.
4)
Dalalah iqtida/ Iqtida’i al Nass’ adalah kebenaran petunjuk lafadh kepada makna
yang tepat tapi bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada
QS. An Nisa (4): 23,
“ diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan,
yaitu kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas
kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
5)
Dalalah Isyarah adalah kebenaran
petunjuk lafadh kepada makna yang tepat berdasarkan isyarat lafadh. Contohnya
pada QS Al Baqarah (2): 187,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istriistri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena
itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah
hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang di waktu
pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan bercampur
sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian
memaksa kita, pagi dalam keadaan junub.
klik3
B. MAHFUM
1.
PENGERTIAN
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh
lafazdh tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan
berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
2.
PEMBAGIAN MAHFUM
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian,
yakni:
a.
Mafhum Muwafaqah,
yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh
bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
1)
Fahwal Khitab
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama
hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh
hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: jangan kamu katakan kata-kata yang
keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi
memukulnya.
2)
Lahnal Khitab
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama
hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak
boleh berdasarkan firman Allah SWT:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S
An-Nisa ayat 10)
Membakar atau setiap cara yang
menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut
ang berarti dilarang (haram)
b.
Mafhum Mukhalafah,
yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan.
Seperti firman Allah SWT: apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. dari ayat
ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan
dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum
mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah:
1)
Mafhum Shifat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada
syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT. ”Hendaklah bebaskan seorang budak
(hamba sahaya) yang mukmin” (Q.S. An-Nisa ayat 92)
2)
Mafhum ’illat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut
’illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
3)
Mafhum ’adat
yaitu memperhubungkan hukum sesuatu
kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT: Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
(Q.S. An-Nur ayat 4)
4)
Mafhum ghayah
yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai
kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” dan
dengan ”hakta”. Seperti firman Allah SWT. apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, (Q.S Al-Maidah
ayat 6)
Firman Allah SWT dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci (Q.S. Al-Baqarah ayat 222)
5)
Mafhum had
yaitu menentukan hukum dengan disebutkan
suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT.:
Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah.
6)
Mafhum Laqaab
yaitu menggantungkan hukum kepada isim
alam atau isim fa’il, seperti sabda Nabi SAW
klik4
klik4
Syarat-sayrat mafhum mukhalafahh, adalah
seperti yang dimukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqhi, se¬bagai
berikut:
Untuk syahnya mafhum mukhalafah,
diperlukan empat syarat:
1)
Mafhum mukhalafah
tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum
muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: “Jangan kamu bunuh
anak-anakmu karena takut kemiskin¬an” (Q. S Isra’ ayat 31).
Mafhumnya, kalau bukan karena takut
kemiskinan di¬bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil
manthuq, ialah: “Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan
kebenaran (Q.S Isra’ ayat 33)”
Contoh yang berlawanan dengan mafhum
muwafaqah:
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang
kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik (Q.S Isra’ ayat 23).
Yang disebutkan, hanya kata-kata yang
kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berla¬wanan dengan
mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.
2)
Yang disebutkan
(manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh: “Dan anak tirimu yang
ada dalam pemeliharaanmu” (Q.S An-Nisa’ ayat 23). Dan perkataan “yang ada dalam
pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam
peme¬liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se¬bab memang
biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3)
Yang disebutkan
(manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contoh: “Orang
Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-¬orang Islam lainnya, baik dengan
tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”. Dengan perkataan “orang-orang Islam
(Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu.
Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun
dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
4)
Yang disebutkan
(manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contoh: “Janganlah
kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid
(Q.S Al-Baqarah ayat 187)”. Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf
dimasjid, boleh mencampuri.
C. NASH
1.
PENGERTIAN NASH
Menurut bahasa Nash adalah raf’u
asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh sebab itu dalam
mimbar nash ini sering disebut manashahat. Seperti halnya zhahir, terhadap nash
pun para ulama ushul berbeda dalam merumuskan definisinya, di antaranya Menurut
Ulama Hanafiyah, nash adalah: هُوَ
مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدِ أَصَالَةً عَلَى مَا
سِيْقَ لَهُ وَ يَحْتَمِلُ التَّأْوِيْلِ
“Lafazh yang dengan sighatnya sendiri
menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan,
dan ada kemungkinan ditakwilkan”.
Nash menurut Ulama Syafi’iyah adalah: مَادَلَّ عَلىَ مَعْنَى دُوْنَ اَنْ يَحْتَمِلَ
مَعْنَى اّخَرَ
Artinya: “Lafal yang menunjukkan kepada
sesuatu pengertian yang tidak menerima makna yang lain”.
Kemudian menurut Ad-Dabusi: الزَّائِدُ عَلَى الظَّاهِرِبَيَانًااِذَاقُوْبِلَبِهِ
Artinya :”Suatu lafazh yang maknanya
lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafaszh zhahir”
Sedangkan menurut Al-bazdawi nash adalah:
مَاازْدَادَوُضُوْحًاعَلَى
الظَّاهِرِبِمَعْنَى الْمُتَكَلِّمِ لاَفِ نَفْسِ الصِّيْغَةِ Artinya: “Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada
makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa
itu sendiri”.
Nash, yaitu apa yang ditunjukkan oleh
sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari pokok pembicaraan. Dan
mengandung takwil. Apabila maksud itu cepat difahami dari lafadznya dan tidak
terhalang memahaminya terhadap urusan luar, adalah maksud pokok pembicaraan.
Dari Definisi-definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa nash memepunyai
tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan
tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, mleinkan timbul dari pembicara
sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
klik5
klik5
Atas
dasar pernyataan-pernyataan tersebut, Muhammad Adib saleh berkesimpulan bahwa
yang dimaksud nash adalah:
اللَّفْظُ الَّذِيْ يَدُلُّ عَلَى الْحُكْمِ الَّذِيْ
سِيْقَ لِأَجْلِهِ الكَلاَمِ دِلاَلَةَوَاضِحَةً تَحْتَمِلُ التَّخْصِيْصَ وَالتَّأْوِيْلَ
اِحْتِمَالاً اَضْعَفُ مِنْ اِحْتِمَالِ الظَّهِرِ مَعَ قَبُوْلِ النَّسْخِ فىِ عَهْدِ
الرَِسَالَةِ Artinya: “Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum
dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai
kemungkinan di takshis dan di takwil yang kemungkinannya lebih lemah dari
kemungkinan yang terdapat dari lafash zhahir. Selain itu ia dapat di nasakh
pada zaman risalah (Zaman Rasulaullah)”.
Nash, yaitu apa yang ditunjukkan oleh
sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari pokok pembicaraan. Dan
mengandung takwil. Apabila maksud itu cepat difahami dari lafadznya dan tidak terhalang
memahaminya terhadap urusan luar, adalah maksud pokok pembicaraan.
2.
CONTOH NASH
QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Secara nash, ayat
tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan
riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang menganggapnya sama. Hal ini
dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat
ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain,
yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya hukum riba. Pemahaman ini disebut
pemahaman secara zhâhir.
QS. Al-Hasyr (59) ayat 7:“........apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah......”. Ayat ini secara nash bertujuan untuk menyatakan
keharusan mengikuti Rasul tentang pembagian harta rampasan, baik yang
dibolehkan maupun yang tidak. Namun dari ayat ini pula dapat dipahami artinya
secara zhâhir, bahwa kita wajib mengerjakan apa yang disuruh Rasul dan
menghentikan apa yang dicegah Rasul untuk mengerjakannya.
Nash itu dalam penunjukannya terhadap
hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhâhir, karena penunjukan nash
lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan
“asal”, sedangkan zhâhir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang
mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung itu lebih
mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung.
Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan makna antara nash dengan zhâhir
dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.
Hukum lafazh nash sama dengan hukum
lafazh zhahir , yaitu wajib diamalkan petunjukanya atau dilalah-nya sepanjang
tidak ada dalil yang menakwilka, metakhsis, atau menasakhnya. Perbedaan antara
zhahir dan nash adalah kemungkinan
takwil, takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang
terdapat pada lafazhzhahir. Oleh sebab itu jika terjadi pertentangan antara lafazh
zhahir dengan lafazh nash , mak lafazh
nash lebih didahulukan pemakainya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh
nash.
Comments
Post a Comment
punya komentar? tuangkan di sini