Al-Quran
merupakan sumber hukum bagi umat Islam sekaligus mu’jizat bagi Nabi Muhammad
Saw yang diberikan oleh Allah Swt. Al-Quran berisi berbagai informasi keilmuan
dan mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia Selain itu keotentikan isinya
juga tidak bisa diragukan lagi. Semua yang terkandung di setiap ayat-ayatnya
mengandung kebenaran dan tidak ada kesalahan sedikit pun.
Keindahan
bahasanya sudah tidak dipungkiri lagi, mengungguli ahli-ahli bahasa mana pun di
dunia. Bahasa Al Quran merupakan bahasa yang mengandung nilai kesusteraan yang
sangat tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk
memahami isi yang terkandung di dalamnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut
adalah memahami ayat-ayat yang terdapat pertanyaan dan jawaban.
Apabila kita
perhatikan, banyak sekali di dalam Al quran ayat yang pasti maknanya, tetapi
tidak sedikit juga ayat-ayat Al-Quran yang membutuhkan penjelasan dan
penafsiran dalam memaknai ayat-ayat tersebut, oleh karena itu penulis mencoba
untuk menjelaskan sedikit tentang : Khas, Mujmal Dan Mubayyan dalam Al-Qur’an.
A. KHAS
1.
PENGERTIAN KHAS
Setiap lafaz yang menunjukkan arti
tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan para ulama, bahwa setiap
lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak
mengandung kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya [1].
2.
CIRI-CIRI KHAS
Suatu lafal nash dikatagorikan kepada
al-khas, bila lafal tersebut diungkapkan dalam bentuk atau karaktristik berikut
ini:
a.
Diungkapkan dengan menyebut jumlah atau bilangan dalam
satu kalimat
b.
Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama
seseorang
c.
Suatu lafal yang diberi batasan dengan sifat atau idofat
Dari ketiga ciri atau karaktristik
diatas dapat dipahami bahwa lafal al-khas menunjukan makna tertentu dan
spesifik yang cakupannya terbatas. Pada satu objek atau satu satuan yang
menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu. Jika di dalam nash
ditemukan lafal-lafal seperti karaktristik diatas, maka digolongkan pada
al-khas[2].
klik2
klik2
3.
KETENTUAN KHAS
a.
Bila
lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara’ (teks hukum), ia menunjukan artinya
yang khas secara qath’i al-dalalah (penunjuk yang pasti dan meyakinkan) yang
secara hakiki ditentukan untuk itu. Hukum yang berlaku pada apa yang dituju
oleh lafaz itu adalah qath’i. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Maidah/5:89
Maka
kaffarahnyan adalah memberi makan sepuluh orang miskin.
Hukum
yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan makan
sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
b.
Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari
lafaz khas itu kepada arti lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa
yang dikehendaki oleh dalil itu. Umpamanya sabda Nabi:
Untuk
setiap empat puluh ekor kambing, (zakatnya) satu ekor kambing
Oleh
ulama hanafi zakat kambing dalam hadist itu dita’wilkan kepada yang lebih umum
yang mencakup kambing dan nilai harganya. Juga menta’wilkan lafaz hadist:
“segantang kurma” dalam kewajiban zakatfitrah, kepada “haraga segantang kurma”.
c.
Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat am dan ditemukan
pula hukum yang khushush dalam kasus
lain, maka lafaz khas itu membatasi pemberlakuan hukum ‘amm itu.
d.
Bila ditemukan pembenturan antara dalil khas dan dalil
amm, terdapat perbedaan pendapat.
1)
Menurut ulama Hanafiah, seandainya dalil itu bersamaan
masanya, maka dalil yang khas mentakhsiskan yang amm, karena tersedianya
persyaratan untuk takhsish. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya di sini ada
dua kemungkinan: 1) bila lafaz amm terkemudian datangnya, maka lafaz amm itu
menasakh lafaz khas itu menasakh lafaz‘amm dalam sebagian afradnya.
2)
Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya pembenturan
antara dalil ‘amm dengan dalil khushushkarena keduanya bila datang dalam waktu
bersaan maka yang kahas memberi penjelasan terhadap yang amm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk
zhahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima penjelasan di samping untuk
diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalil khas. Lafaz khas
itulah yang menjelaskan lafazamm[3].
klik3
4.
CONTOH KHAS
Adalah ayat 89 surat Al-maidah:
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu,
ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu
berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka… (QS. Al-Maidah/5:89)
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut
diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang.
Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain.
Begitulah dipahami setiap lafal khas dalam al-Qur’an, selama tidak ada dalil
yang memalingkannya kepada pengertian lain seperti makna majazi (metafora)[1].
5.
MACAM-MACAM KHAS
a.
Lafadz has berbertuk mutlak tanpa dibatasi qayyid atau
syarat
Contoh:والذين يظهرون من نسائهم ثم يعدون لما قا لوافتحريررقبة من قبل
ان يتماسا ذالكمتو عظون به والله بما تعملون خبي
Atinya
: orang –orang yang mendzihar istri mereka. kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami istri itu bercampur.demikianlah yang diajarkan kepadamu,
dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b.
Lafadz khas berbentuk muqqoyyad (dibatasi qayyid)
Contohnya
surat Annisa’ 42
ومن قتل مؤمناخطاء فتحرير رقبة مؤمنة
Artinya:
barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan
seotang hamba sahaya yang beriman.
c.Lafadz khas berbentuk amr
Contohnya
dalam syurat annisa’ 58
ان الله ياء مروكم ان تؤدواالامنت الى اهلها
Artinya
: sesungguhnya Alloh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerinanya
d.
Lafadz khas yang berbentuk larangan
Contoh
surat annahl 90 ;
ان الله ياء مرون با لعدل والاءحسن وايتائ
ذئ القربى وينهى عن الفحشاء والمنكروالبغى يعظكم لعلكم تذكرون
Artinya:
sesungguhnya Alloh menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan member
kepada kaum kerabat dan Alloh melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan
permusuhan dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran[3].
6.
HUKUM KHAS
Lafazh yang terdapat pada nash syara’
menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah
maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang
tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’i-an dilalahnya tidak terpengaruh.
a.
Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq,
tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara
mutlaq,selama tidak ada dalil yang membatasinya.
b.
Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah,
maka ia memberkan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur
bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.
c.
Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan
(nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhdap hal yang dilarang itu,
selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan dari hal itu.
klik4
klik4
7.
DALALAH AL-KHAS DAN PANDANGAN ULAMA
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah
al-khas mengandung petunjuk qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang
memalingkan kepada arti lain. Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra,
bahwa dalalah lafal al-khas adalah qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini
tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di
jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafal al-Khas menunjukan kecuali ada
dalil lain yang mengubahnya.
Apa yang dinyatakan Zaky al-Din
Sya’ban ini dapat dipahami bahwa meskipun lafal al-Khas tersebut dalalahnya
qhat’i, tetapi ada kemungkinan mengalami perubahan jika ada dalil lain yang
dapat dijadikan alasan untuk itu. Yang menjadi permasalahan adalah apakah
perubahan dalalah lafal al-khas yang qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan
atau tidak?
Dalam hubungan ini ulama berbeda
pendapat. Sebagian berpendapat bahwa arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah
lafal al-khas tidak dapat dirubah kepada arti lain, karena ia sudah pasti.
Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri kelihatannya mendukung pendapat yang
disebut terakhir ini[2].
B. MUJMAL
1.
PENGERTIAN MUJMAL
Secara bahasa berarti samar-samar dan
beragam/majemuk. Secara istilah berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada
lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan
tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
Contoh: lafadz yang masih memerlukan lainnya untuk
menentukan maknanya: kata ” rapat ” dalam bahasa Indonesia misalnya memiliki
dua makna: perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam al Qur’an misalnya
surat al Baqarah: 228 وَالْمُطَلَقَاتُ يَتَرَبَصْنَ بِاَنْفُسِهِنَ ثَلَاثَةَ قُرُوء
wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. kata ” قروء ”
dalam ayat ini bisa berarti : suci atau haidh. Sehingga untuk menentukan
maknanya membutuhkan dalill lain.
contoh: lafadz yang membutuhkan lainnya dalam
menjelaskan tatacaranya. Surat An Nur:
56 وَاَقِيمُ الَصَلَوةَ
Dan dirikanlah sembahyang.,
Kata
“ mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena tidak
diketahui tatacaranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami tatacaranya.
Begit pula ayat- ayat haji dan puasa
Dari definisi tersebut, dapat difahami
bahwa Mujmal itu adalah suatu lafazh yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami
maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’ baik ketidak jelasannya itu
akibat peralihan lafazh dari makna yang jelas pada makna khusus yang
dikehendaki syara’ ataupun karena sinonim lafazh itu sendiri ataupun karena
lafazh itu ganjil artinya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
mujmal lebih tinggi kadar khafa-nya dari pada musykil, sebab penjelasan
mujmaldiperoleh dari syara’ bukan hasil ijtihad. Contohnya lafazh shalat,
menurut bahasa berarti doa, tetapi menurut istilah syara’ adalah ibadah khusus
yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah saw.
Dari aspek keharusan adanya penjelasan
dari syara’ tentang lafazh mujmal itu timbul masalah, yaitu sejauh manakah
penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat memberikan penjelasan mujmal sepanjang
tidak ada penjelasan nash Al-Quran. Oleh sebab itu untuk mencari penjelasan
mujmal terlebih dahulu harus melihat nash Al-Quran[4].
klik5
2.
CONTOH MUJMAL
a.
Contoh lafal yang mujmal, sebagaimana firman Allah:
المطلقَّات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
“Perempuan yang diceraikan suaminya,
menantikan iddahnya tiga quru” (Q.S.al-baqarah : 228). Lafal quru ini disebut
mujmal karena mempunyai dua arti, yaitu haid atau suci. Kemudian mana diantara
dua macam arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut maka diperlukan penjelasan,
yaitu bayan. Itulah suatu contoh ijmal dalam lafal tunggal.
b.
Contoh dalam lafal murakkah (susunan kata-kata) sebagai
berikut:
او يعفوالذى بيده عقدة النكاح . (البقره
: ۲۳٧)
“Atau orang yang memegang ikatan
pernikahan memaafkan”. (Q.S. Al-Baqarah : 237). Dalam ayat tersebut masih
terdapat Ijmaltentang menentukan siapakah yang dimaksud orang yang memegang
kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud suami atau wali.
Kemudian untuk menentukan siapa diantara kedua itu yang dimaksud pemegang
ikatan nikah maka diperlukan bayan.
c.
mujmal pada tempat kembalinya dhamir yang ihtimal (layak)
menunjukan dua segi, sebagaimana sabda Nabi SAW :
لا يمنع أحدكم جاره أن يضع خشبة فى حدره
“Janganlah salah seorang diantara kamu
menghargai tetangga untuk meletakkan kayu pada dindingnya”.
Kata-katanya
pada dindingnya masih mujamal artinya belum jelas, apakah kembalinya itu kepada
dinding orang itu atau kepada tetangganya.
Keterangan:
Mujamal ini hampir sama dengan ‘am
(umum) dan muthlaq. Karena itu, perlu mengetahui perbedaan antara ketiga makna
tersebut agar tidak salah menentukan masalahnya.
Untuk memahami mujmal dan menemukan
bagian-bagian dan berbagai bentuknya mutlak diperlukan adanya penjelasan
(mubayyin) yang menerangkan makna secara rinci. Tapi sesudah keterangan dan
rincian ini, orang masih perlu merenung dan berfikir sebelum sampai pada
kesimpulan.
Banyak ungkapan al-Qur’an mengenai
hukum-hukum taklifi yang berbentuk mujmal, yang kemudian oleh Sunnah dijelaskan
dan dirincikan ketentuan-ketentuannya. Perintah shalat misalnya, berbentuk
mujmal, lalu datanglah Sunnah Nabi dalam bentuk ucapan dan sekaligus tindakan.
Demikian pula ibadah haji, sunnahlah yang menjalankan. Seperti terdapat pada
sabda Nabi saw:خُذُوْا عَنِّى مَنَا سِكَكُمْ
Ambillah dariku amalan amalan haji kalian.
Soal zakat dan jual beli juga begitu,
disebut secara mujmal kemudian Sunnah pula yang menguraikan secara rinci
mengenai batasan dan ketentuan-ketentuan, untuk mengatur tata pergaulan antar
manusia.
Demikianlah, tak pernah kita temukan
satu mujmal pun kecuali dijelaskan oleh Sunnah dengan merinci
ketentuan-ketentuan hukumnya sedemikian rupa sehingga tak ada lagi kekaburan
(ibham).
Menurut kebanyakan ulama, sesudah
datangnya keterangan pada mujmal yang dianggap sebagai bagian lafazh (mujaml)
tersebut, maka tidak boleh lagi menerapkan ta’wil serta tidak boleh mengenakan
takhsish sesudah adanya penjelas (mubayyin). Sebagian ulama berpendapat bahwa
setelah diterangkan mujmal menjadi zhahir, kadang menjadi nash atau mufassar, dan adakalanya menjadi muhkam.
Tidak bisa dipastikan bahwa setelah itu otumatis menjadi salah satu dari tiga
macam tersebut. Bahkan ada yang menyatakan bahwa setelah adanya keterangan
mujmal kadang-kadang menjadi musykil. Untuk kasus ini mereka mengajukan contoh
sabda nabi perihal riba:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِاالْفِضَّةِ
وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِوَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ مَثَلًا بِمِثْلِ سَوَآءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَاِذَاخْتَلَفَتْ هَذِهِ
الْاَشْيَاءُ فَبَيِّعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ
“jual beli atau barter antara emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir
dengan gandum sya’ir, korma dengan korma dan garam dengan garam (maka
masing-masing barang itu harus) sama kontan. Apabila (salah satu dari)
benda-benda ini diperjual belikan dengan benda lain, maka juallah dengan cara
bagaimanapun yang kamu suka”
Hadis
ini mereka pandang sebagai penjelasan dan rincian terhadap kata riba yang terdapat dalam firman Allah:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لَايَقُوْمُوْنَ
اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِى يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit jiwa” (Q.S. al-Baqarah:275)
Dan
bagi mereka, kata riba yang mujmal ini sesudah itu menjadi musykil yang perlu
diteliti dan dikenali lebih jauh. Sebabnya, meski telah dijelaskan, toh lafazh
itu masih meliputi benda-benda lain yang serupa dengan benda-benda seperti
tersebut pada hadis diatas.
Sebenarnya,
nash al-Quran dalam masalah riba bukanlah mujmal. Walaupun terdapat kesamaran
didalamnya, tapi telah diterangkan oleh sabda Nabi dalam khutbah Wada’ :
وان ربا الجا هلية موضوع
واول ربا ابتدأبه ربا عمى العباس بن عبد المطلبالا
“ingatlah bahwa riba (yang berlaku
dimasa) jahiliyah adalah maudhu’ (dibikin-bikin, jadi batal). Dan riba yang
pertama kali disinggung oleh Allah (dalam al-Quran) adalah riba pamanku,
al-Abbas ibn Abdul muththalib.”
Jadi, riba yang dimaksud didalam
al-Quran adalah riba hutang piutang, yakni riba dimana tempo pembayaran hutang
dihitung (dinilai) dengan tambahan hutang (bunga). Itulah sebabnya, diakhir
ayat riba, Allah berfirman, “jika kamu bertobat maka bagimulah modal hartamu.
(Artinya), ambil kembali modal harta yang kamu hutangkan saja, dan janganlah
minta bunganya. Itulah cara bertobat dari praktek riba. (Q.S. al-Baqarah).
Kalian tidak berbuat zhalim, dan kalian tidak dizhalimi.”
klik6
klik6
Riba
macam ini dinamakan riba nasi’ah (riba tempo). Dan menurut Ibnu Abbas, hanya
riba macam inilah yang haram, tidak yang lain.
Adapun riba yang kedua seperti disebut
dalam hadis diatas adalah “riba jual beli”—sebutan yang biasa dipakai para
ulama. Karena itu mereka biasa meletakkan pembahasan tentang riba ini dalam bab
jual beli. Maksud dari penempatan tersebut ialah menjadikan enam benda itu
berikut komoditas-komoditas lain yang serupa dengannya—berikut perbedaan
pendapat dikalangan ulama mengenai batasan apa saja yang serupa—bukanlah obyek
perdagangan kecuali pada lingkup tertentu yang sangat terbatas. Pasalnya,
sebagian dari yang keenam komoditas yang diperdagangkan sebab keduanyaadalah
alat penilai harga dan alat penimbang barang. Sedang untuk sebagian yang lain,
andaikan untuk orang yang diperbolehkan memperdagangkannya secara bebas, tanpa
ikatan dan syarat, niscaya lahirlah monopoli dikalangan para produsennya
belaka, dan terhalanglah segolongan manusia lainnya.
Ulama sepekat bahwa apabila sudah ada
penjelasan (bayan), lafazh mujaml tidak lagi dikatagorekan sebagai mubham sebab
dengan adanya dukungan dari penjelasan (bayan) itu berarti ia keluar dari
lingkup ibham (kekaburan). Hanya saja, kadang terjadi, sementara ulama yang
mengadakan pembahsan tidak mengetahui adanya penjelas (mubayyin) itu sehingga
kekaburan itu tetap ada dalam pandangan mereka. Kendati demikian, pada dirinya,
lafazh tersebut tidak bisa dibilang kabur: kekaburan telah sirna dengan adanya
penjelasan.
Pada mujaml ini juga terdapat dalam
undang-undang Hukum positif. Wakaf itu terdapat dalam fasal 16 peraturan
pemerintah tentang masalah hukum Keluarga. Juga syari’ menginginkan supaya
hukum ini dikumpulkan, bukan dipisah-pisah, bertahun tahun lamanya masih terasa
pengaruh pertikaian bentuk-bentuk yang bersangkut dengan hokum di Mesir. Sampai-sampai
syari’. Mesir ikut campur memecahkan masalah ini. Pada alinia kedua, fasal 28
Peraturan Pemerintah mengatur masalah hukum bagi pengadilan. Keputusan
pengadilan pada tahun 1927 berbunyi,- demikianlah, tidak dikhususkan oleh
pengadilan mempercampurkan dengan pertengkaran yang bersangkut langsung, atau
dengan perantara wakaf, atau dengan mensahkannya, atau dengan menafsirkannya,
atau melaksanakn sebagian syarat-syaratnya, atau dengan menerangakan pendapat
mereka itu[4].
klik7
klik7
3.
SEBAB-SEBAB MUJMAL
Berlakunya
al-Ijmāl melalui salah satu daripada tiga perkara iaitu :
a.
الإشتراك مع عدم القرينة - Al-ishtirāk dan tiada qarinah ( Abd
Latif Muda dan Rosmawati Ali 2001 : 352 ). Tidak dapat ditarjiḥkan salah satu daripada makna lafaz al-musytarak tersebut
disebabkan tiada qarinah yang menjelaskan makna yang dikehendakinya. Justeru
itu, ia dikira mujmal. Seperti lafaz, al-mawlā bererti hamba yang dimerdekakan
atau tuan yang memerdekakan hamba.
غرابة اللفظ لغة kalimah gharīb atau asing yang tidak difahami makna dikehendaki
sehinggalah ada penjelasan daripada Allah. Contohnya lafaz al-Ḥāqqah dalam firman Allah.
الْحَاقَّةُ
Maksudnya
: Hari Kiamat. ( Surah al-Ḥāqqah 69: 1 )
Kalimah
itu tidak difahami makna maknanya melainkan setelah dijelaskan oleh Allah yaitu
Hari Kiamat.
b.
النقل من المعنى اللغوي إلى معنى إصطلاحي
شرعي iaitu pindahan
daripada makna bahasa kepada istilah syarak. Seperti lafaz: al-Ribā’. Lafaz
yang dipindahkan kepada syarak daripada bahasa dan digunakan untuk makna syarak
tidak sama dengan makna bahasa. Pengertian yang dikehendaki pada penggunaan
syarak dijelaskan melalui al-Sunnah.
c.
Al-Mujmal ialah lafaz yang tidak mungkin dapat diketahui
perincian daripada lafaznya yang tersendiri, bahkan ia hanya dapat difahami
melalui pentafsiran dan ijtihad. Terdapat banyak lafaz nas al-Quran mengandungi
hukum taklifi yang berbentuk mujmal yang ia kemudiannya dijelaskan oleh
al-Sunnah. Contohnya, berkenaan dengan perintah solat yang dibawa dalam bentuk
mujmal, kemudian ia dijelaskan melalui al-Sunnah. Sebagaimana Sabda Baginda:صلوا كما رأيتموني أصلي. [4]
klik8
4.
PENYEBAB SAMARNYA LAFAL MUJMAL
Dalam
menjelaskan hal ini, Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menyebutkan bahwa ada enam
hal yang merupakan penyebab samarnya suatu lafaz Mujmal yaitu sebagai berikut :
a.
Lafadz itu mengandung makna yang tidak jelas atau tidak
tertentu kualitasnya. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-An’am ayat 141 :و أتوا حقه يوم حصد“ dan tunaikanlah haknya di hari
memetik hasilnya”.
Lafadz
‘hak’ dalam ayat ini, sekalipun maknanya secara umum bisa dimengerti, namun
jenis dan kualitas hak tersebut tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan dalil
lain yang akan menjelaskannya.
b.
Lafadz itu mengandung makna musytarak ( bersama ) antara
dua makna atau lebih sesuai dengan arti etimologinya. Misalnya firman Allah SWT
dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
و المطلقات يتربصن با نفسهن ثلاثة قروء“Wanita-wanita
yang ditalak itu hendaklah menahan dirinya (menunggu) tiga quru “
Lafadz
‘quru’ dalam ayat ini bersifat mujmal, karena secara etimologi mengandung dua
makna, yaitu haid dan suci. Apabila dipilih salah satu makna, maka harus
didukung dalil lain baik dari al-Qur’an, Sunnah maupun ijtihad.
c.
Masuknya huruf istitsna’ (pengecualian) yang kualitas
pengecualiannya tidak jelas ke dalam suatu kalimat. Misalnya firman Allah SWT
dalam surat al-Maidah ayat 1 :
يايها الذين أمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم
بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير محلى الصيد و انتم حرم ان الله يحكم ما يريد
“ Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut
yang dikehendaki-Nya.
Kalimat
“ kecuali yang akan dibacakan padamu “ merupakan kalimat yang mujmal yang tidak
jelas maksudnya. Akan tetapi, kalimat mujmal itu langsung dijelaskan oleh Allah
SWT dalam surat al-Maidah ayat 3. Oleh sebab itu apa yang dimaksud oleh Allah
SWT dengan kalimat “ kecuali yang akan dibacakan padamu" adalah jenis
binatang-binatang yang haram dimakan yang dicantumkan dalam surat al-Maidah
ayat 3 tersebut.
d.
Rasulullah SAW mengerjakan suatu perbuatan yang
mengandung dua kemungkinan, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa
yang dituju adalah salah satunya. Misalnya sebuah Hadits yang diriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW meng-qashar shalat dalam perjalanan ( HR. Bukhari dan
Muslim). Perjalanan yang dimaksud dalam Hadits ini masih mengandung dua
kemungkinan, yang jauh atau yang dekat.
Apabila
penjelasan tentang jarak perjalanan tersebut tidak ada, maka lafazh
"perjalanan “ (safar) tetap akan mujmal. Akan tetapi kemujmalan lafadz
tersebut dijelaskan oleh sebuah Hadits riwayat Baihaqy, bahwa perjalanan yang
boleh meng-qashar shalat adalah perjalanan yang jauh, yaitu yang ditempuh dua
hari perjalanan . Terdapat beberapa Hadits mengenai hal ini sehingga berakibat
juga pada perbedaan pendapat Ulama fiqih dalam menentukan jarak perjalanan
tersebut.
e.
Rasulullah SAW menetapkan hukum dalam suatu kasus, tetapi
keputusan itu mengandung beberapa kemungkinan sehingga tidak dapat difahami
kecuali melalui dalil lain. Misalnya Hadits Rasulullah SAW yang menyuruh
seseorang yang berbuka puasa di bulan Ramadhan untuk memerdekakan budak, atau
berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Yang
membuat penetapan hukum Rasulullah SAW ini menjadi mujmal adalah karena belum
jelas penyebab berbuka puasanya seseorang itu sehingga dikenakan ketetapan
hukum ini, apakah disebabkan jima’ siang hari Ramadhan atau disebabkan berbuka
saja, baik karena jima’ atau yang lainnya. Karena itu diperlukan dalil lain
yang menjelaskannya.
klik9
f.
Dalam suatu kalimat terdapat dhamir (kata ganti ) yang
merujuk kepada kalimat sebelumnya yang mengandung dua kemungkinan tanpa ada
dalil kuat yang merujuk kepada salah satu rujukan, atau dalam suatu kalimat
sebutan yang berbeda , tanpa ada dalil yang menunjukkan pada salah satu dua
kemungkinan itu. Contohnya masalah dhamir dalam Hadits Rasulullah SAW :
لا يمنع احدكم جاره أن يضع خشبة في جدره
“janganlah salah seorang di antara kamu
melarang tetangganya untuk menyandarkan kayunya di dinding rumahnya”
Kata
“ nya “ dalam kalimat dinding rumahnya mengandung kemungkinan merujuk kepada
kalimat “tetangga” atau kepada kalimat “salah seorang di antara kamu”. Tidak
ada dalil dalam Hadits ini yang menunjukkan marja’ dhamir tersebut. Oleh sebab
itu perlu dicarikan dalil lain yang menjelaskannya.
Maksudnya:
Sembahyanglah kamu sebagaimana kamu melihat aku sembahyang ( Riwayat Malik bin
Al-Huwarith) .
Pada
mulanya, terdapat nas di dalam firman Allah :وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ
Maksudnya
: Dirikanlah solat ( al-Baqarah 2: 43 )
Perkataan
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ merupakan ayat mujmal
iaitu tafsiran dari sudut cara untuk bersolat masih lagi dalam keadaan samar.
Namun ia telah dijelaskan oleh al-Sunnah bahawa cara untuk bersolat hendaklah
dikuti sebagaimana cara Rasulullah bersolat. Hal ini telah menjelaskan ayat
mujmal[4].
5.
HUKUM MUJMAL
Jumhur
ulama sepakat bahawa sememangnya lafaz al-mujmal terdapat di dalam al-Quran dan
al-Sunnah. Berkaitan dengan hukum beramal dengannya adalah ditangguhkan
sehingga ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya yang sebenar. Oleh itu, lafaz
al-mujmal memerlukan penjelasan atau al-bayan agar ia dapat ditentukan apakah
sebenarnya yang dimaksudkan daripada lafaz tersebut untuk dapat beramal
dengannya ( Abd Latif Muda dan Rosmawati Ali 2001: 354 ).[4]
C. MUBAYAN
1.
PENGERTIAN MUBAYAN
Al-Bayan
artinya ialah penjelasan; maksudnya ialah menjelaskan lafadz atau susunan yang
mujmal. Mubayyan ialah lafadz yang terang maksudnya tanpa memerlukan penjelasan
dari lainnya. Jelasnya ialah:
البيان إخراج الشيء من حيزالإشكال إلي حيزا
لتجلي
“Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari
tempat yang sulit kepada tempat yang jelas.”
2.
MACAM-MACAM MUBAYAN
a.
Mubayyan dengan perkataan; sebagaimana firman Allah swt.;
فَمَنْ
لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَة
“Barang siapa yang tidak dapat membeli
binatang kurban hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila
kamu kembali;yang demikian itu sepuluh hari sempurna.” (Q.S.al-baqarah[2]: 196)
Lafadz
tujuh dalam bahasa arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih
dari tujuh. Untuk menjelaskan tujuh yang sebenarnya, Allah iringi dengan
firmanNya sepuluh hari yang sempurna. Penjelasan tujuh yang sebenarnya dalam
ayat ini adalah dengan ucapan.
b.
Bayan dengan perbuatan; seperti penjelasan Nabi saw. Pada
cara-cara sholat dan haji:
صلواكمارأيتمو
ني أصلي
“Sholatlah kamu sebagaimana kamu
melihat aku menjalankan sholat.”(H.R. Bukhari).
Cara
shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi saw. Yakni beliau mengerjakan
sebagaimana beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya.
c.
Bayan dengan isyarat; Misalnya penjelasan Nabi saw.
Tentang jumlah hari dalam satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada sahabat
beliau dengan mengangkat sepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian
mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksudnya bahwa bulan arab itu
kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
d.
Bayan dengan meninggalkan sesuatu; misalnya hadits ibnu
hibban yang menerangkan:
كان
اخرالامرين منه ص.م عدم الوضوءمما مست ا لنار
“adalah akhir dua perkara pada Nabi
saw. Tidak berwudhu’ karena makan apa yang dipanaskan api,”
Hadits
ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak berwudhu’ lagi
setiap kali selesai makan daging yang
dimasak.
e.
Bayan dengan diam; Misalnya tatkala Nabi saw menerangkan
wajibnya ibadah haji, ada seorang yang bertanya ”Apakah setiap tahun ya
Rasulullah?”Rasulullah diam tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti
menetapkan bahwa haji tidak wajib dilakukan tiap tahun.[5]
3.
KAIDAH YANG BERKAITAN DENGAN MUJMAL DAN MUBAYAN.
a.
تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنِ وَقْتِ الْحَاجَةِ
لاَيَجُوْزُ
Artinya’’Mengakhirkan
penjasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan’’
يا رسول ا لله انئ امراة استحاض فلا اطهر
افادع الصلا ة فقال لها ص م . لا انما ذالك
عرق و ليست بالحيضة فاذا اقبلت الحيضة فدعى
الصلاة و اذا ادبرت فاغسلى عنك الدم و صلى , ( متفق عليه Contoh:Ketika Fatimah binti hubaisy bertanya kepada
rasulullah:’’ya rasulullah saya ini wanita yang berpenyakit (istihadhoh) yang
belum mandi.apakah saya harus sholat’’nabi menjawab:Darah itu hannya keringat
biasa bukan haid.Dari hadits ini dapat dipahami darah istikhadhoh tidak
mewajibkan mandi besar.
b.
تَأخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الخِطَابِ
يَجُوْزُ
Artinya’’Mengahirkan
penjelasan pada saat diperintahkan sesuatu dibolehkan’’
Contoh:perintah
tentang sholat,puasa,zakat,dan haji.Semuanya dijelaskan secara bertahap dan
mendetail.Tidak langsung dijelaskan tapi penjelasannya diakhirkan.. [5]
klik10
klik10
4.
MACAM-MACAM BAYAN (PENJELASAN) TERHADAP LAPADZ MUBAYYAN
macam
sebagai berikut :
1.
Penjelasan dengan perkataan ,
contohnya,
Allah SWT menjelaskan lafaz سبعة ( tujuh ) pada surat
al-Baqarah ayat 196, tentang jumlah hari puasa bagi yang tidak mampu membayar
dam (hadyu) pada haji Tamattu’. Dalam bahasa Arab lafaz tujuh sering ditujukan
kepada arti ‘banyak’ yang bisa lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan ‘tujuh’ itu
betul-betul tujuh maka Allah SWT mengiringi dengan firman-Nya “itu sepuluh hari
yang sempurna”.
b.
Penjelasan dengan mafhum perkataan,
contohnya,
firman Allah SWT dalam surat al-Isra’ ayat 23, tentang larangan mengatakan اف”ah” kepada kedua orang tua. Mafhum
dari ayat tersebut adalah melarang seseorang anak menyakiti orang tuanya,
seperti memukul dan lain-lain, karena mengucapkan “ah” saja tidak boleh,
apalagi memukul.
c.
Penjelasan dengan perbuatan,
contoh.
Rasulullah SAW menjelaskan perintah mendirikan shalat, dalam ayat al-Quran,
lalu Rasulullah SAW mencontohkan cara melakukan shalat tersebut.
d.
Penjelasan dengan Iqrar “pengakuan”
contohnya,
Rasulullah melihat Qayis shalat dua raka’at sesudah shalat Subuh, maka
Rasulullah bertanya kepada Qayis, lalu Qayis menjawab dua raka’at itu adalah
shalat sunat fajar. Rasulullah tidak melarang. Ini menunjukkan dibolehkan
shalat sunat sesudah shalat Subuh.
e.
Penjelasan dengan Isyarat,
contohnya
penjelasan Rasulullah SAW tentang jumlah hari dalam satu bulan. Beliau mengangkat
kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil
membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksdunya bahwa bulan itu
kadang-kadang 30 hari atau kadang-kadang 29 hari.
f.
Penjelasan dengan tulisan,
contohnya
Rasulullah SAW menyuruh juru tulis beliau menuliskan hukum-hukum mengenai
pembagian harta warisan dan lain-lain.
g.
Penjelasan dengan qiyas,
contohnya
Rasulullah SAW menjawab seorang penanya melakukan haji untuk ibunya yang sudah
meninggal. Rasullullah bertanya, ‘bagaimana kalau ibumu punya hutang, apa kamu
bisa membayarnya?. Hadits tersebut menqiyaskan mengganti haji orang tua dengan
membayar hutangnya.
Apabila
terdapat perkataan mujmal baik dalam qur’an maupun hadits, maka kita tidak
menggunakannya, sehingga dating penjelasan. Seperti kata salat, zakat, haji,
dan lain-lain yang dijelaskan oleh Nabi SAW. Tentang cara-cara melakukannya.
Demikian pula tentang batas-batas harta yang terkena zakat[6].
5.
Hikmah menggunakan mujmal
Mujmal
adalah salah satu bagian dari mutasha}bi>h. lafad mujmal memiliki beberapa
faidah yang sangat besar manfaatnya diantaranya ialah:
1.
Mengandung hikmah yaitu menguji, merangsang akal untuk
berpikir bagi setiap orang yang memikirkanya
2.
Memperoleh derajat ilmu serta mendapat kemuliaanya
3.
Memperlihatkan kadar jerih payah dalam mencari kebenaran
4.
Menambah ketenangan hati (iman) karena akan mengetahui
bahwa al-quran benar-benar berasal dari Allah SWT.[6]
[1]
http://aningrahayu.blogspot.co.id/2015/05/am-khas_25.html
[2]
http://jhodymrazbraine.blogspot.co.id/2015/05/mengenal-kaidah-al-am-dan-kaidah-al-khas.html
[3]
https://masarief77.blogspot.co.id/2016/03/am-khas-dan-takhsis.html
[4]
http://mediainstanbelajar.blogspot.co.id/2017/03/pengertian-mujmal-sebab-mujmal-penyebab.html
[5]
http://madin.ppwahidhasyim.com/2015/04/mujmal-dan-mubayyan.html
[6]
http://mas-pujiono.blogspot.co.id/2014/03/kaidah-tentang-mujmal-dan.html
Comments
Post a Comment
punya komentar? tuangkan di sini