A.
BABAD
TANAH JAWI
Babad Tanah
Jawi (bahasa Indonesia "Sejarah Tanah Jawa") adalah sebutan untuk
kumpulan naskah berbahasa Jawa yang berisi sejarah raja-raja yang pernah
bertahta di pulau Jawa. Terdapat beragam susunan dan isi dan tidak ditemukan
salinan yang berusia lebih tua daripada abad ke-18. Dibuat sebagai suatu karya
sastrasejarah yang berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar
dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap
kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa.
Buku ini juga
memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam
buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi
lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram
Islam.
Silsilah
raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit,
Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada
pertengahan abad ke-18.
Buku ini telah
dipakai sebagai salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun
menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu
menggunakannya dengan pendekatan kritis.
Babad Tanah
Jawi ini memiliki banyak versi. Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat,
kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua
kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku
Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788.
Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II
dengan naskah tertua bertanggal tahun 1722.
Perbedaan
keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal
bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram
secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan, sementara
kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah
Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ
de Graaf. Menurutnya, apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya,
khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura pada abad
ke-18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang
kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita setelah era itu, de Graaf tidak berani
menyebutnya sebagai data sejarah karena terlalu sarat dengan campuran mitologi,
kosmologi, dan dongeng.
Selain Graaf,
Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada tahun 1874, dia
menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan
karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak
beredar hingga kini.
Menjelang
Perang Dunia II, Balai Pustaka juga menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah
Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan
tulisan Jawa.
klik2
B.
KERAJAAN
BANTEN HINDU-ISLAM
Kesultanan
Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan,
Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika kesultanan
Cirebon dan kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat
Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya
sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan sebagai antisipasi terealisasinya
perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis tahun 1522 m.
Maulana
Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mengembangkan benteng
pertahanan yang dinamakan Surosowan (dibangun 1600 m) menjadi kawasan kota
pesisir yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi
kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3
abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa,
yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan
pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.
Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah
sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan,
dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari
raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
1.
SEJARAH KERAJAAN
a.
Pembentukan Awal
1)
syiar islam ke banten dan pendirian
kesultanan banten
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan
syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten,
Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak
hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan
hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten
dan pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten
terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau
Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum(penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir
dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai
Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan
dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran
Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang
Surosowan) yang lahir pada 1478 m. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama
Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk
menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah
sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan
menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.
2)
latar belakang penguasaan
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu
(putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima
angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon,
kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.
Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat
mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera
mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di
Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan
Samudera Pasai.
Pada tahun 1513 m, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam
catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten Syarif
Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah,
sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan puteranya yaitu Maulana
Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka
membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan
taat menjalankan agama Islam, dari aktifitas dakwah ini di wilayah Banten,
Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa
cahaya Allah swt), aktifitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana
Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten
Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah
kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon
dan pulau Panaitan dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang
dilakukan ayahnya.
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi
pedagang muslim yang akan singah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini
bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang
pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang muslim, namun
upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada
kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang
dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman
kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra
koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan
kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan
dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan
Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya
dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu
Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu
persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajaan Sunda dan Portugis.
Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan
secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sunda sebagai
imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila
kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan
memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.
Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di
Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa
(dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam) untuk membangun benteng
keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya
bersifat ekspansif
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang
menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan
yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa
akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan
memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan,
sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati
peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sundasebagai
Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak
kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat
Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy
o xabandar (dan Syahbandar) Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama
Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan
huruf Wau dengan Khot.
3)
penguasaan banten
Pada tahun 1522, Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang
diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun,
pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan. Sementara yang menjadi
pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang
Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang
Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan
Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.
Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari
kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten Pada masa
ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi
kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk
merebut Wahanten Girang Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan
gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang,
KiJongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada
Maulana Hasanuddin. Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan
bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya
aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat
termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan
Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin
untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam)
dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana
Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan
oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya Arya
Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk
hutan di wilayah Selatan. Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang
digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di
penghujung abad ke-17.
klik3
4)
penyatuan Banten
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin
kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks
Surosowan sekaligus membangun kota pesisir. Kompleks istana Surosowan tersebut
akhirnya selesai pada tahun 1526. Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk
umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas
wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah
Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian
disebut sebagai Banten dengan status sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan
Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m),
kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah
Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian
ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten
meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa
(sultan) di Banten Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti
Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi
pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.
menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda
Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi
oleh kapal dari berbagai negara.
Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di
wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
b.
Banten Sebagai Kesultanan
Kesultanan Banten menjadk kesultanan yang mandiri pada tahun 1552
setelah Maulana Hasanuddin ditasbihkan oleh ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati
sebagai Sultan di Banten.
Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah
penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan
tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja
Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi
keris oleh raja tersebut.
Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun
1570melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan
Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad,
yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten
dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia
meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja
pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638
dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten
telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain
yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja
Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.
c.
Puncak Kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan
perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di
Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan
Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting
pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi
kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten
berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai
masa kejayaan Banten.Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan,
dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada
Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan
armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat
sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha
keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade
atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
d.
Perang Saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten,
akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya
Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara
tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau
Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya,
menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta
bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari
istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28
Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan
Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar
mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng
tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut
Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf.
Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta
pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van
Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember
1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya
Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh
oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan
membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang
dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka,
puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan
berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan
Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
e.
Penurunan
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan
memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah
Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada
Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh
di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22
Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di
Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji
juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai
mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para
Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda
di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji
namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya
Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian
dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan
ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa
Banten maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC
dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir
pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya
perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan
Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan
rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.
f.
Penghapusan Kesultanan
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia
Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk
mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan
Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja
untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta
keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan
di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqinkemudian
diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan
dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam
wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial
Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin
dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini
merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
klik4
2.
KEADAAN SOSIAL MASYARAKAT BANTEN
HINDU-ISLAM
a.
Agama
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten
dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti
Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama
Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada
penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga
mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf
mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan
penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten
dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para
ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu
tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat
menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada
dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada
kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan
Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan
agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau
didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana
peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng
pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.
b.
Kependudukan
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang
banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok
etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan
Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten
diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap
untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut
sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang
paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus
yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang
mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika
keseluruhan penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan
berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun 1676 ribuan
masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini
akibat berkecamuknya perang di Fujianserta pada kawasan Cina Selatan lainnya.
Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai
serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India
dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti
Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun
pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
c.
Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang
perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai
diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan
pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan
perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng
karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek
(pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem
ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung,
kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan
besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru
dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal
tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektare sawah baru dan ribuan hektare
perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut,
termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar
Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan
penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dimungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi
kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya
menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
d.
Pemerintahan
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya
menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran
Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh
para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar
Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi
pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang
digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus
lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong
praja, serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci
Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar,
alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit,
sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan
menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai
menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada
antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama
Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan
oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya.
Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi
oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala.
Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis
tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang
singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di
kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa
Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
3.
PENINGGALAN
Setelah
dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan
kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten
dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian
dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan
masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan
otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten
sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2000. Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan
etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada
masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat
Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.
- Get link
- X
- Other Apps
Labels
ips sejarah
Labels:
ips sejarah
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
punya komentar? tuangkan di sini