Kerajaan Medang
(atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu)
adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8,
kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak
meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak
Hindumaupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.
A.
NAMA
Pada umumnya,
istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur
saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama
"Medang" sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa
Tengah.
Sementara itu,
nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah
adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah satu daerah ibu kota
kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang
berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut
dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.
B.
PUSAT
KERAJAAN
"Bhumi
Mataram" adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah
inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya
Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya
prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah "Mataram" kemudian
lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak
selamanya kerajaan ini berpusat di sana.
Sebenarnya,
pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai
ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi
istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,
• Medang
i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
• Medang
i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
• Medang
i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
• Medang
i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
• Medang
i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
• Medang
i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
• Medang
i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut
perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu
diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut
dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya
terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut
dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.
C.
AWAL
BERDIRINYA KERAJAAN
Prasasti
Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja
pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Sanjaya sendiri
mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa
nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau
Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau.
Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha,
saudara perempuan Sanna.
Sanna, juga
dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709
- 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh
Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan
diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang
merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini
pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya.
Sanjaya, anak
Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora.
Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat
Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas
nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan
Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M
Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia
meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara
puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan
Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggungdiperintah oleh Resi Guru
Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Kisah hidup
Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru
ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.
klik2
D.
DINSATI
YANG BERKUASA
Pada umumnya
para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan
Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah,
serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.
Istilah Wangsa
Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini
menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa
pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an),
kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha
Mahayana.
Mulai saat itu
Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai
Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an,
seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi
Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa
menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut
dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori
Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota
Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat
bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang,
dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang
diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra
Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778memuji Rakai Panangkaran
sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian
pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran
oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori
Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai
Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra.
Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik
takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai
pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna
“penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di
Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah
Pancapana.
Slamet Muljana
kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan
nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra
ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari
daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.
Sementara itu,
dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada
‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun
istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu
Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan
Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
Apabila teori
Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di
Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai
berikut:
1.
Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
2.
Rakai Panangkaran, awal berkuasanya
Wangsa Syailendra
3.
Rakai Panunggalan alias Dharanindra
4.
Rakai Warak alias Samaragrawira
5.
Rakai Garung alias Samaratungga
6.
Rakai Pikatan[6] suami
Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
7.
Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8.
Rakai Watuhumalang
9.
Rakai Watukura Dyah Balitung
10.
Mpu Daksa
11.
Rakai Layang Dyah Tulodong
12.
Rakai Sumba Dyah Wawa
13.
Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
14.
Sri Lokapala suami Sri
Isanatunggawijaya
15.
Makuthawangsawardhana
16.
Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang
berakhir
Pada daftar di
atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya
semua memakai gelar Sri Maharaja.
klik3
E.
STRUKTUR
PEMERINTAHAN
Raja merupakan
pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar
Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar
ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan
gelar asli Indonesia.
Ketika Rakai
Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti
dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di
mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa
Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.
Pemakaian gelar
Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa
Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi
Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.
Jabatan
tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis
Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang
memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan
Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan
Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman
Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak
berhak untuk naik takhta.
Jabatan sesudah
Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri
i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya
sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah
lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.
Jabatan
tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah
raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan
Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman
Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri
pada zaman sekarang.
F.
KEADAAN
PENDUDUK
Penduduk Medang
sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai
petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan
saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.
Agama resmi
Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika
Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran
Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama
Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.
G.
PEREBUTAN
KEKUASAAN
Pada masa
pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an),
ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai
Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau
pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa.
Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai
Watuhumalang.
Dyah Balitung
yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali
kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu,
ia dapat mewarisi takhta mertuanya.
Pemerintahan
Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang
mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh
menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses
suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula.
Tulodhong
akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat
sebagai pegawai pengadilan.
klik4
H.
PEMINDAHAN
PUSAT KERAJAAN
Menurut teori
van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur
disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian
puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya
sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan
lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan
material vulkanik berupa abu dan batu.
Istana Medang
yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui
dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah
meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta
di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.
Mpu Sindok yang
menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah
Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di
Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga
baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri
Isana Wikramadharmottungga.
I.
PERMUSUHAN
DENGAN SRIWIJAYA
Selain
menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau
Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang
menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.
Hubungan
senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa
Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar
tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa
Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.
Balaputradewa
kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap
Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan
turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga
bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan
Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana
berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya
datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang
Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
J.
PERISTIWA
MAHAPRALAYA
Mahapralaya
adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam
prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca
dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut
Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun
1016.
Raja terakhir
Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti
Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk
menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara
Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.
Pada tahun 1006
(atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan
putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang
diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut,
Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun
kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari
Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang.
Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu
Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan
Kahuripan.
K.
PENINGGALAN
SEJARAH
Selain meninggalkan
bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak
Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun
1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni
budaya kerajaan Medang.
Candi-candi
peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi
Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari,
Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan
tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang
dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah
satu warisan budaya dunia.
Comments
Post a Comment
punya komentar? tuangkan di sini