A.
PROSES
LAHIRNYA BANI ABBASIYAH
Pemerintahan
dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada Al- Abbas, paman Rasulullah, sementara Khalifah
pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah Ash- Sahffah bin Muhammad bin Ali
Bin Abdulah bin Abbas bin Abdul Muthalib.Pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul
abbas Ash- saffah,dan sekaligus sebagai khalifah pertama.Selama lima Abad dari
tahun 132-656 H ( 750 M- 1258 M). Kemenangan pemikiran yang pernah
dikumandangkan oleh Bani Hasyim ( Alawiyun ) setelah meninggalnya Rasulullah
dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunana Rasulullah
dan anak-anaknya.
Sebelum
berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat
kegiatan, anatara satu dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam
memainkan peranya untuk menegakan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah,
Abbas bin Abdul Muthalib.Dari nama Al- Abbas paman Rasulullah inilah nama ini
di sandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah,dan
khurasan.
Di kota
Mumaimah bermukim keluarga Abbasiyah, salah seorang pimpinannya bernama Al-imam
Muhammad bin Ali yang merupakan peletak dasar-dasar bagi berdirinya dinasti
Abbasiyah.Para penerang Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para pimpinannya
yang berjumlah 12 orang dan puncak pimpinannya adalah Muhammad bin Ali.
Propaganda
Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan
rahasia.Akan tetapi,imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan
mendirikan kekuasaan Abbasiyah,gerakannya diketahui oleh khalifah Ummayah
terakhir,Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti
Umayyah dan dipenjarakan di haran sebelum akhirnya diekskusi. Ia mewasiatka
kepada adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia
akan terbunuh,dan memerintahkan untuk pindah ke kufah.Sedangkan pemimpin
propaganda dibebankan kepada Abu Salamah.Segeralah Abul Abbas pindah dari
Humaimah ke kufah di iringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu
Ja’far,Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali.
Penguasa
Umayyah di kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukan oleh Abbasiyah dan di
usir ke Wasit.Abu Salamah selanjutnya berkemah di kufah yang telah di taklukan
pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abbul Abbas di
perintahkan untuk mengejar khaliffah Umayyah terakhir, marwan bin Muhammad
bersama pasukannya yang melarikan diri, dimana akhirnya dapat di pukul di
dataran rendah sungai Zab. Khlifah itu melarikan diri hingga ke fustat di
mesir, dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Al- Fayyum, tahun 132 H/750 M.
Dan beririlah Dinasti Abbasiyah yang di pimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu
Abbul Abbas Ash- Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.
klik2
klik2
1.
Fase Pembentukan tahun 750M -847M =
132H-232 H
Disebut pengaruh Persia pertama yaitu berlanjut dari kekuasaan
khalifah pertama Abu Abbas assafah tahun 750 M =132 H sampai khalifah ke 9 (al Wastsiq
) tahun 847 M = 232 H. Abu Abbas assafah dan Abu Ja’far al-Mansur khalifah
pertama dan kedua di sebut sebagai peletak pondasi yang kuat. Abu Abbas dengan
sikap tegas dan beraninya mampu mengusir paksa semua bekas keturunan Muawiyah
dari wilayah yang baru direbutnya dari kekuasaan Bani Umayyah, sehingga wilayah
Islam Abbasiyah pada saat itu menjadi aman dan kondusif.
Sedangkan khalifah Abu Ja’far al-Mansur dikenal sebagai penerus
kebijakan khalifah pertama dengan merintis berdirinya, baitul hikmah (pepustakaan).
Abu Ja’far juga yang membuat kebijakan memindahkan ibu kota Abbasiyah dari
Damaskus ke wilayah yang lebih luas dan jauh dari pengaruh Bani Umayyah I yaitu
Baghdad di wilayah Persia.
Khalifah Harun al-Rasyid, khlifahah ke-5 membangun peradaban ilmu pengetahuan
dengan menyediakan berbagai fasilitas pendidikan bagi masyarakat luas,
mahasiswa, ulama atau para para pencinta ilmu pegetahuan. Harun al-Rasyid
membangun lembaga-lembaga pendidikan seperti kuttab, madrasah dan perguruan
tinggi seperti Universitas Nizamiah, Universitas Naisabur dan lain sebagainya.
Mahasiswa, Ulama, Guru dan pemerhati ilmu pengetahuan yang ingin talabul ilmi
(belajar) dibayar oleh pemerintah dan disediakan tempat penginapan di dalam
Baitul Hikmah yang dibangun dengan diameter yang sangat luas. Tercatat ada 3
khalifah yang berkuasa pada masa puncak dan kegemilangan peradaban Islam ini.
Pada masa ini para pencari ilmu dari Eropa datang dari wilayah Inggris dan
Prancis untuk thalabul ilmi dari Islam, mereka datang ke Andalusia, seperti di
Toledo University, Sevilla Unversity, Granada University dan Kordova
University. Di Abbasiyah mereka datangi Nizamiyah University, Sammara
University, Naisabury University.
Mereka para pelajar dari Eropa itu belajar sambil mengamati suasana
perkembangan ilmu pengetahuan seperti penulisan ilmu pengetahuan oleh ulama-ulama
Islam, dan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan terutama baitul hikmah yang
didirikan hampir di semuah kota-kota kekuasaan Abbasiyah. Selesai dari belajar
di kota-kota Islam mereka kemudian mengembangakan ilmu dan pengalaman belajar
di kota-kota Islam dengan mendirikan lembaga pengajian yang diberi nama House
of Wisdom di Inggris dan Prancis.
Kegiatan belajar yang menonjol lainnnya adalah penerjemahan
bukubuku Filsafat Yunani dan buku-buku asing, dengan cara menyewa para ahliahli
bahasa yang beragama Kristen dan penganut agama lainnya. Fase ini juga
dikembangkan oleh khalifah Harun al-Rasyid sebagai wujud kepedulian sosial Bani
Abbasiyah . Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Di
kota Bagdad pada saat itu telah tersedia paling sedikit 800 orang dokterdi.
Permandian-permandian umum juga dibangun sebagai sarana umum di sediakan bagi
masyarakat yang kurang mampu untuk mempergunakan fasiitas-fasilitas tersebut
secara bebas.
Fase ini disebut dengan pengaruh Persia karena beberapa khalifah
yang berkuasa berkebangsaan Persia, sepeti al-Amin dan al-Makmum putra dari Harun
al-Rasyid ibunya orang Persia dan beberapa khalifah lainnnya. Meskipun pada
fase ini khalifah al-Muktasim mulai memberi peluang kepda bangsa Turki untuk
berkiprah dalam pemerintahan Abbasiyah sebagai tentara pengawal khalifah dan
pengawal istana.
2.
Fase kedua Tahun 232 H – 334 H = 847
M – 945 M
Fase kedua ini di kenal
dengan pengaruh kekuasaan Turki
pertama Fase ini di mulai dari khalifah ke sepuluh Al Mutawakkil. Pada fase ini perkembaangan
peradaban masih bisa berkembang akan
tetpi tidak sepesat sepesati fase
sebelumnya. Peradaban ilmu dan peradaban lainnya, seperti membanguun
istana, mesjid, dan kota
masih tetap berjalan baik.
Baru pada ahir abad
ke 9 pada saat di wilayah
Islam yang begitu luas terjadi disintegrasi atau pecahnya
kekuasaan Islam menjadi wilayah-wilayah
kecil yang lepas dan merdeka
dari pemerintahan Abbasiyah
sebagai pusat pemerintahan
Islam, pada waktu itu proses
pengembangan peradaban mulai menurun, tetapi para pelajar dari
eropa masih berbondong-bondong
belajar di pusat-pusat peradaban baik di Bahgdad maupun di
kota-kota di Andalusi. Dalam hitungan para pakar sejarah,
bahwa masa ini masih masuk dalam masa
kejayaan peradaban Islam. Fase ini
banyak pembesar istana
berasal dari bangsa Turki, terutama
yang bekerja sebabai pengawal istana
dan pengawal khalifah
3.
Fase ketiga tahun 334 H -447 H = 945 -1055 M
Fase pengaruh dinasti Buwaihi atau di sebut juga
pengaruh Persia kedua ini dikenal dengan
masa disintegrasi di
kekuasaan dinasti Abbasiyah dan Mulukt Tawaif di
dinasti Umaiyah 2 Andalusia. Wilayah -
wilayah jauh Abbasiyah seperti di Afrika Utara,
dan diIndia minta merdeka dari
Abbasiyah. Tuluniyah dan
Fatimiyah di Mesir, serta Idrisi di Maroko dan Sabaktakim di India
mengumumkan merdeka dan lepas
dari kekuasaan Pusat Abaiyah.
Pada fase ini perkembangan ilmu masih berjalan meskipu sudah menurun. Mahasiswa dari
eropa tetap masih belajar
di pusat pusat peradan Islam baik
diBahgdad maupun di Andalusia masih diramaikan dengan kegiatan belajar mengajar. Karya karya monumental dari Muhammad
al khawarizmi, al gibra= al jabar
dalambidang matematika dan logaritma serta karya ad Dawa, al Qonun fil Tbb, asy syifa dari ilmuan Umaiyah Andalusia
seperti Ibnu Sina, Ibnu Zuhr mash
menjadi idola para pelajar eropa untuk mempelajarinya.
4.
Fase keempat tahun 447H -590H =tahun
1055M – 1194 M
Dalam sejarah fase
keempat ini disebut degan fase kekuasaan bani Saljuk atau dalam sejarah sering
juga di sebut juga dengan nama fase pengaruh Turki kedua.
Kegiatan ilmu pengetahuan masih berjalan
yang di kebangkan oleh Bani Abbasiyah dan Umaiyah Andalusia, meskipun bersifat konserfativ
atau berjalan di
tempat. Diwilayah Islam seprti
Mesir telah berkobar perang salib mengahadapi kaum Nasrani yang berlansung
selama 2 abad. Menarik
untuk dicermati dalam
sejarah bahwa, orang-orang
Nasrani pada waktu itu selain
berperang dengan umat Islam
dalam perang salib, mereka
juga belajar di universitas-universitas Islam yang masih bertahan dengan proses belajar mengajar.
klik3
5.
Fase kelima tahun 590H -656H = tahun 1194M- 1258M
Fase ini di kenal dalam sejarah perkembangan Islam sebagai fase lemah sampai
fase hancurnya kekuasaan Islam
Abbasiyah. Setelah terjadi disintegras dan perang salib
dalam wilayah Islam, maka kekuasaan Islam Abbasiyah di Bahgdad maupun
kekuasaan Umaiyah 2 Analusia semakin
menurun. Bahkan pada tahun 1258 M Abbasiyah di serang dan di
bombarbir oleh kekuasaan Mongol dengan membakar sekian banyak fasilitas ilmu pengetahuan
sertamembakar mati para ilmuanIslam Abbasiyah dengan cara membakar
perpustakaan,sekolah-sekolahserta membakar
fasilitas-fasiitas umum sampai hancur. Sedagkan pusat Peradaban Islam
yang ada
di wilayah Andalusia di
serang dan dihancurkan
oleh dua kerajaan Nasrani
Aragon dan Castelia, maka lengkaplah
kehancuran Islam pada fase ini. Kondisiperadaban islam di Bahgdad pada saat
itu hancur lebur, dua sungai yang
besar yang membelah kota Bahgdad, Trigis dan Eufhart hitambeberapa bulan lantara
dibuangnya abu pembakaran peradaban itu
ke dua sungai terebut. Setelah kejadian tragis itu makakekuasaan Islam yang selama 5 Abad lebih membangun peradaban
dengan susah payah, telah takluk dan
hancur binasa, suramlah peradaban
Islam, lesuhlah wajah peradaban Islam dan berahirlah kegemerlapan peradaban
Islam.
C.
ZAMAN
KEJAYAAN BANI ABBASIYAH
zaman keemasan
Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan pengganti Khalifah Abu Jakfar
Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) dan mencapai puncaknya
di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid.
Di masa-masa
itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis Kesenian, terutama kesusastraan
dan kebudayaan. Berbagai buku diantaranya dari India berhasil diterjemahkan
seperti buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat
anonim. Buku lainnya seperti bku filsafat yunani, dalil dan dasar matematika
dari India. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya aliran pemikiran
Muktazilah yang amat mengandalkan kemampuan rasio dan logika dalam dunia Islam.
Pada masa itu juga hidup budayawan dan sastrawan masyhur seperti Abu Tammam
(meninggal 845 M), Al-Jahiz (meninggal 869 M), Abul Faraj (meninggal 967 M) dan
beberapa sastrawan besar lainnya.
Kemajuan ilmu
pengetahuan terarah pada sendi-sendi keilmuan, seperti Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu
Aqli. Ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan
lain-lain. Dan juga berkembang ilmu-ilmu Aqli seperti Astronomi, Matematika,
Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam, Geografi, Kedokteran dan lain sebagainya.
Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan,
dalam ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai seorang pengarang buku
nahwu yang sangat terkenal Alfiyah Ibnu malik, dalam bidang sejarah muncul sejarawan
besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya yang memiliki pengaruh yang
besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Popularitas
Daulah Abbasiyah juga mencapai puncaknya di zaman Khalifah al-Ma’mun (813-833
M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial,
rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat
kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan
sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam
menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Masa Abbasiyah
menjadi tonggak puncak peradaban Islam. Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah
mempelopori perkembangan ilmu pengetahuan dengan mendatangkan naskah-naskah
kuno dari berbagai pusat peradaban sebelumnya untuk kemudian diterjemahkan,
diadaptasi dan diterapkan di dunai Islam. Para ulama’ muslim yang ahli dalam
berbagai ilmu pengetahuan baik agama maupun non agama juga muncul pada masa
ini. Pesatnya perkembangan peradaban juga didukung oleh kemajuan ekonomi
imperium yang menjadi penghubung dunua timur dan barat. Stabilitas politik yang
relatif baik terutama pada masa Abbasiyah awal ini juga menjadi pemicu kemajuan
peradaban Islam.
klik4
1.
Gerakan penerjemahan
Meski kegiatan
penerjemahan sudah dimulai sejak Daulah Umayyah, upaya untuk menerjemahkan
bahasa asing diantaranya bahasa yunani dan Persia ke dalam bahasa arab
mengalami masa keemasan pada masa DaulahAbbasiyah.
Pelopor gerakan
penerjemahan pada awal pemerintahan daulah Abbasiyah adalah Khalifah Al-Mansyur
yang juga membangun Ibu kota Baghdad. Pada awal penerjemahan, naskah yang
diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian
naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam
masa keemasan, karya yang banyak diterjemahkan tentang ilmu-ilmu pragmatis
seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan namun,
karya-karya berupa puisi, drama, cerpen dan sejarah jarang diterjemakan karena
bidang ini dianggap kurang bermanfa’at dan dalam hal bahasa.
Pada masa ini,
ada yang namanya Baitul hikmah yaitu perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat
pengembagan ilmu pengetahuan. Pada masa Harun Ar-Rasyid diganti nama menjadi
Khizanah al-Hikmah (Khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan
dan pusat penelitian. Pada masa Al-Ma’mun ia dikembangkan dan diubah namanya
menjadi Bait al-Hikmah, yang dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat
penyimpanan buku-buku kuno Persia, Bizantium, dan bahkan dari Ethiopia dan
India. Direktur perpustakaannya seorang nasionalis Persia, Sahl Ibn Harun. Di
bawah kekuasaan Al-Ma’mun, lembaga ini sebagai perpustakaan juga sebagai pusat
kegiatan study dan riset astronomi dan matematika.
2.
Dalam Bidang Filsafat
Pada masa ini
pemikiran filasafat mencakup bidang keilmuan yang sangat luas seperti logika,
geometri, astronomi, dan juga teologia. Beberapa tokoh yang lahir pada masa
itu, termasuk diantaranya adalah Al-Kindi, Al-farobi, Ibnu Sina dan juga
Al-Ghazali yang kita kenal dengan julukan Hujjatul Islam.
3.
Perkembangan Ekonomi
Ekonomi
imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Sudah terdapat berbagai macam
industri sepertikain linen di Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari
Samarkand, serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan kurma
dari Iraq. Hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai
wilayah kekuasaan Abbasiyah dan Negara lain.
Karena
industralisasi yang muncul di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung
lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang
dari Nubia dan Sudan Barat melambungkan perekonomian Abbasiyah.
Perdagangan
dengan wilayah-wilayah lain merupakan hal yang sangat penting. Secara bersamaan
dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina juga mengalami masa
puncak kejayaan sehingga hubungan perdagangan antara keduanya menambah
semaraknya kegiatan perdagangan dunia.
4.
Dalam bidang Keagamaan
Di bawah
kekuasaan Bani Abbasiyah, ilmu-ilmu keagamaan mulai dikembangkan. Dalam masa
inilah ilmu metode tafsir juga mulai berkembang, terutama dua metode
penafsiran, yaitu Tafsir bir Ra’i dan Tafsir bil Ma’tsur. Dalam bidang hadits,
pada masa ini hanya merupakan penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan
para sahabat. Pada masa ini pula dimulainya pengklasifikasian hadits, sehingga
muncul yang namanya hadits dhaif, maudlu’, shahih serta yang lainnya.
Sedangkan dalam
bidang hukum Islam karya pertama yang diketahui adalah Majmu’ al Fiqh karya
Zaid bin Ali (w.122 H/740 M) yang berisi tentang fiqh Syi’ah Zaidiyah. Hakim
agung yang pertama adalah Abu Hanifah (w.150/767). Meski diangap sebagai
pendiri madzhab Hanafi, karya-karyanya sendiri tidak ada yang terselamatkan.
Dua bukunya yang berjudul Fiqh al-Akbar (terutama berisi artikel tentang
keyakinan) dan Wasiyah Abi Hanifah berisi pemikiran-pemikirannya terselamatkan
karena ditulis oleh para muridnya.
Perkembangan
peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya-upaya
dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari
bangunan – bangunan yang berupa:
Kuttab, yaitu
tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
Majlis
Muhadharah,yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir dan pujangga
untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
Darul Hikmah,
Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan
perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.
Madrasah,
Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah
yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
Masjid,
Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada masa
Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan ekonomi:
pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah
Mansyur..
klik5
Faktor-faktor
Perkembangan Pada Masa Bani Abbasiyah.
Secara garis
besar faktor yang menjadi penyebab Bani Abbasiyah mengalami kemajuan, adalah adanya
kesadaran khalifah akan ilmu. sehingga dengan ilmu maka semua menggali kemajuan
yang pesat, di antara faktor-faktornya antara lain:
1.
Terjadinya asimilasi antara bangsa
arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam
bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa
non-Arab banyak yang masuk islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan
bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sebagaimana sudah disebutkan, sangat
kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh india terlihat dalam bidang
kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk
melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
2.
Gerakan terjemahan yang berlangsung
dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun
Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam
bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah Al
Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam
bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H,
terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan
semakin meluas.
D.
KEMUNDURAN
BANI ABBASIYAH
Kemunduran dan
kehancuran Dinasti Abbasiyah yang menjadi awal kemunduran dunia Islam terjadi
dengan proses kausalitas sebagaimana yang dialami oleh dinasti sebelumnya.
Konflik internal, ketidak mampuan khalifah dalam mengkonsolidasi wilayah
kekuasaannya, budaya hedonis yang melanda keluarga istana dan sebagainay,
disamping itu juga terdapat ancaman dari luar seperti serbuan tentara salib ke
wilayah-wilayah Islam dan serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu
Khan. Dalam makalah ini penulis akan membahas sebab-sebab kemunduran dan
kehancuran Dinasti Abbasiyah serta dinamikanya.
Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang
kesuksesan dalam hampir segala bidang, namun akhirnya iapun mulai menurun dan
akhirnya runtuh. Menurut beberapa literatur, ada beberapa sebab keruntuhan
daulah Abbasyiah, yaitu:
1.
Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah,
faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada
periode ini sangat kuat, sehingga benih-benih itu tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para
menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah
lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling
berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Perebutan Kekuasaan di Pusat
Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan
orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua
golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas.
Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan
persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih
orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang
Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas
satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas
ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara
itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah
darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di
dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh
penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru.
Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Khalifah
Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk
masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di
pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan
menguasai tempat yang mereka diami.
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah,
naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa
yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah
berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian
direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan
selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat
(447-590H).
b.
Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang
Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa
keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko,
Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak
daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada
di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah
hanya ditandai dengan pembayaran upeti.
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan
pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak
cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa
Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada
politik dan ekspansi. Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang
memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di
pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki. Akibatnya
propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas. Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H),
Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah
di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah
di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk
dan cabang-cabangnya
Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489
H), Ayubiyah (564-648 H).
Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah
di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di
Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah
di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo
414-472 H).
Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah
di Mesir.
c.
Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan
pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga
Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama
dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa
kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara
menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan
negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya
terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar
upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para
khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para
pejabat melakukan korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara
morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan
politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
klik6
klik6
d.
Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan
Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk
menjadi penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan
ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal
dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga
memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun
140 H. Setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih
keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan
khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan
memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk
yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan
Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak
berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang
ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran
Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan
paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang
juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam
Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862
M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein
tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani
Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah
Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari
Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti
perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh
al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan
mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa
al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara
dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali
pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham
Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis.
Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
2.
Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor
internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor
eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
1.
Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah
setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa
peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin
berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan
kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal
dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode
telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah
melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea,
Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.
2.
Serangan Mongolia ke Negeri Muslim
dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah.
Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian
disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H).
Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang
Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga
menguasai Asia Kecil. Pada bulan September 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum
kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar
diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari
1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota. Sementara itu Khalifah
al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah
itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua
dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan
membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar
dua juta orang. Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai
babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.
Comments
Post a Comment
punya komentar? tuangkan di sini