A.
PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL
Kearifan lokal terdiri dari dua
kata yakni kearifan “wisdom” yang artinya kebijaksanaan dan lokal “local” yang
berarti daerah setempat.
secara umum pengertian dari
kearifan lokal ialah gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan dari suatu
tempat yang memiliki sifat bijaksana Dan bernilai baik yang diikuti dan
dipercayai oleh masyarakat di suatu tempat tersebut dan sudah diikuti secara
turun temurun.
Kearifan lokal memiliki beberapa
ciri-ciri yaitu:
• Mempunyai
kemampuan memgendalikan.
• Merupakan
benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.
• Mempunyai
kemampuan mengakomodasi budaya luar.
• Mempunyai
kemampuan memberi arah perkembangan budaya.
• Mempunyai
kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan budaya asli.
Kearifan lokal merupakan
pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode yang panjang dan berevolusi
bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya berdasarkan apa yang
sudah dialami. Jadi dapat dikatakan kearifan lokan disetiap daerah berbeda-beda
tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup.
B.
KEARIFAN LOKAL DI PULAU JAWA
a.
KEARIFAN
LOKAL DI BANTEN
Suku
Baduy sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni. Mereka selalu menjaga
dan merawat alam supaya dapat terus dikelola dengan baik. Efeknya, alam
memberikan hasil panen yang cukup dan melimpah untuk menghidupi kebutuhan hidup
mereka. Mereka tidak ingin merusak kelestarian alam yang ada.
Ditengah-tengah
gempuran modernitas dan globalisasi saat ini, nilai budaya dasar yang dimiliki
dan diyakininya. Kearifan lokal dimasyarakat Baduy memberikan banyak pelajaran
berharga untuk masyarakat kita yang sudah banyak sekali termakan oleh modernitas.
Oleh karena itu banyak sekali baik individu atau kelompok yang datang dan
berkunjung ke suku Baduy.
Wisatawan
berkunjung untuk melihat keindahan alam ataupun belajar akan nilai-nilai
kearifan lokal yang ada dimasyarakat suku Baduy. Hebatnya lagi adalah kemampuan
suku Baduy untuk bisa mempertahankan kebudayaanya dari kebudayaan-kebudayaan
luar yang masuk melalui para pengunjung yang datang.
Baduy
terletak di Desa Kanekes terletak di Gunung Kandeng yang sebagian wilayahnya
adalah hutan. Wilayah ini termasuk ke dalam Propinsi Banten tepatnya di
Kabupaten Lebak Leuwi Damar. Kelompok masyarakat Baduy terbagi menjadi dua,
yaitu Baduy Luar, dan Baduy Dalam. Keduanya berada di Desa Kanekes hanya saja
ada beberapa aturan adat yang berbeda.
Kondisi
alam Desa Kanekes ini terdiri dari bukir-bukit yang tersusun berjajar, sehingga
untuk berjalan dari satu desa ke desa yang lainnya membutuhkan waktu dan tenaga
yang cukup banyak. Belum lagi jika berkunjung saat musim hujan. Jalan menjadi
sangat licin dan perlu berhati-hati.
Masyarakat
Baduy ini sangat menjaga budaya dan adat istiadat yang diwariskan nenek
moyangnya sehingga banyak sekali pantangan-pantangannya dengan alasan untuk
menjaga alam atau pun menjaga tradisi seperti halnya, dilarang menggunakan
trasportasi, menggunakan listrik, menggunakan elektronik, menggunakan sabun,
odol dsb. Masyarakat Baduy sangat menjungjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal
masyarakatnya.
Sistem
ekonomi Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup. Artinya aktivitas ekonomi
dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diproduksi serta
dikonsumsi dilingkungan Baduy sendiri. Mata pencaharian mereka pada umumnya
adalah bertani atau bercocok tanam. Adapula yang bekerja di hutan untuk mencari
madu.
Hasil
kerja mereka kemas dengan alat secukupnya dan dijual ke kota. Mungkin tidak
jarang orang-orang yang berada di Jakarta, Bogor, Tanggerang dsb menemukan
masyarakat Baduy menjual madunya atau kain tenunnya. Sementara wanita suku
Baduy bekerja di rumah seperti menenun kain, selendang, sarung, gantungan serta
kerajinan lainnya seperti membuat tas dari serat akar-akar pohon. Wanita Baduy
sendiri diwajibkan untuk memiliki keahlian menenun sebagai bukti bahwa dirinya
sudah cocok untuk dipinang.
Nilai-nilai
kearifan masyarakat Baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam
kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi
kebutuhan primernya. Bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang
ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia.
Masyarakat
Baduy memupuk tanamannya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan
organik. Sebuah nilai kearifan lokal masyarakat Baduy yang tidak mau merusak
alam dengan menggunakan bahan kimia. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain
yang menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat,
tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia
dalam pupuk yang digunakan. Selain itu dalam menanggulangi hama padi,
masyarakat Baduy memilih mengusir daripada membunuh.
Dalam
bertani, mereka selalu menjaga keselarasan dengan alam, bukannya melawan alam.
Maka dari itu, dalam penanggulangan hama padi huma, masyarakat Baduy
menggunakan racikan biopestisida dan rawun pare daripada pestisida pabrikan
yang dianggap dapat meracuni dan merusak lingkungan.
Upaya
mengusir hama padi huma tersebut tampaknya cukup berhasil. Buktinya, kejadian
puso panen padi huma akibat gangguan hama sangat jarang terjadi di Baduy.
Mengapa demikian? Pasalnya, berbagai tumbuhan untuk biopestisida atau rawun
pare orang Baduy dikenal secara ilmiah (etik) termasuk kategori tumbuhan
pengusir hama (repellent).
Kehidupan
mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang
penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting
lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi
mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah
segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya
untuk keberlangsungan hidup mereka.
Pelaksana
sehari-hari pemerintahan adat kapu’unan (kepu’unan) dilaksanakan oleh jaro,
yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro
tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan
hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka
bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di
dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah sembilan orang, yang apabila
ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro dua belas. Pimpinan
dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
Adapun
jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat
Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa,
carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. Prinsip kearifan yang dipatuhi
secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai
sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi.
Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan
pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari
kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip
hidup sehari-hari.
Masyarakat
Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh
Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan,
manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung.
Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat
masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas
alam agar tetap seimbang.
Kesederhanaan
hidup ini adalah cara mereka untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang menjadi
pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah.
Comments
Post a Comment
punya komentar? tuangkan di sini